Dark/Light Mode

Virus Korupsi Sama Jahatnya Dengan Covid-19

Senin, 6 April 2020 06:02 WIB
Prof. Tjipta Lesmana
Prof. Tjipta Lesmana

RM.id  Rakyat Merdeka - Minggu pagi, 5 April 2020, beredar teks berjalan di sejumlah stasiun televisi berisi penegasan Prof. Mahfud, MD, Menteri Koordinaor Polhukam yang menegaskan bahwa pemerintah tidak akan membebaskan narapidana koruptor. “Pemerintah sampai sekarang tidak merencanakan merevisi PP No 99 tahun 2012, sehingga tidak ada rencana pemerintah memberikan remisi atau pembebasan kepada pelaku atau terpidana korupsi....... Sudah clear, ya ?” begitu kata-kata Prof. Mahfud lewat video singkat yang diviralkan ke media sosial. Saya sempat menerima video tersebut dan membacanya secara lengkap dan saksama kata per kata.

Mahfud tampaknya GERAH membaca ramainya berita di semua media tentang rencana Yasonna Laoly membebaskan narapidana korupsi. Berita itu bere dar luas setelah Menkumham menghadiri rapat kerja dengan Komisi III DPR RI pada 1 April 2020.

Dibantai oleh sanggahan keras Menko Polhukam, Yasonna tidak kalah gerah, bahkan sewot. Dalam sekejap beredar pula moving caption berisi Yasonna di sejumlah layar televisi yang mem bantah diri nya “akan membebaskan napi kourpsi dengan dalih pencegahan wabah Covid19.”

Bantah versus bantah, siapa yang benar? Betulkah Men kum ham bermaksud membebaskan napi koruptor? Kalau tidak, mengapa berita itu beredar dari Sabang sampai Merauke dengan magnitude yang keras dan men dapatkan kecaman dari seluruh penjuru Nusantara?

Tudingan terhadap Yasonna tersebut muncul ketika Kementerian Hukum dan HAM mengeluarkan aturan ihwal pembebasan narapidana dan anak melalui asimilasi dan integrasi guna meminimalisir penyebaran virus Corona dan penyakit Covid-19. “Saya disebut mau meloloskan napi narkoba dan kasus korupsi seperti sudah beredar beberapa waktu lalu di media massa. Itu tidak benar!” ucap Yasonna melalui keterangan tertulis, kemarin.

Baca juga : Indonesia Menuju Darurat Sipil?

Di DPR pada tanggal 1 April 2020, Menkumham memang mengusulkan supaya Peraturan Pemerinmtah No. 99 tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan segera direvisi untuk mencegah penyebaran virus Corona di lembaga pemasyarakatan. Dua alasan yang dikemukakan Yasonna mengapa PP tersebut perlu direvisi: karena kondisi lapas sudah melebihi kapasitas. ada empat kriteria narapidana yang bisa dibebaskan dengan revisi PP no. 99 tahun 2012; mulai dari terpidana narkoba hingga koruptor berlanjut usia dengan syarat yang ketat, begitu kata Menteri Kumham dalam rapat kerja dengan Komisi Hukum DPR RI tanggal 1 April 2020.

Di depan Komisi III DPR RI, Yasonna juga merinci hingga 1 April 2020 sekitar 5.556 narapidana telah dibebaskan guna mencegah penyebaran virus corona di Lapas. Keputusan membebaskan 5.000 lebih napi merujuk pada Peraturan Menteri Hukum dan HAM nomor 10 tahun 2020 dan Keputusan Menteri Hukum dan HAM nomor M.HH19. PK/01.04.04 tentang Pengeluaran dan Pembebasan narapidana dan anak Melalui asimilasi dan Integrasi dalam rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19.

Menkumham bahkan menargetkan pembebasan sekitar 30.000 hingga 35.000 narapidana melalui peraturan tersebut.

Mengenai napi korupsi, Yasonna menyatakan tidak seluruh napi korupsi akan dibebaskan. Dia mengusulkan kriteria yang ketat lewat revisi Peraturan Pemerintah nomor 99 tahun 2012. Menurut Menteri kader PDIP itu, hanya napi korupsi yang berumur di atas 60 tahun dan sudah menjalani 2/3 masa tahanan yang akan bebas.

Jelas sekali, Yasonna memang sudah punya niat SUNGGUH SUNGGUH untuk membebaskan napi korupsi [hanya saja] dengan embel-embel syarat ketat, yaitu berumur di atas 60 tahun dan sudah menjalani 2/3 masa tahanan. Jelas, itu BUKAN syarat ketat namanya! Hal itu berarti SEMUA NAPI KORUPSI BERUSIA DI ATAS 60 TAHUN DAN  SUDAH MENJALANI MASA TAHANAN  2/3 berhak (eligible) untuk langsung dibebaskan dari penjara.

Baca juga : Mempertanyakan Efektivitas `Setengah Lockdown`

Edan dan busuk kan wacana ini? Yasonna memanfaatkan masalah Covid-19 sebagai tameng untuk membela para koruptor! Menteri Kumham yang satu ini, jelas, lupa salah satu tujuan pokok gerakan reformasi di negara kita adalah untuk menghancurkan kekuatan koruptor yang merupakan kolusi antara oknum pejabat pemerintah, pengusaha dan oknum wakil rakyat. Maka, salah satu konsideran penting terbitnya taP MPr no. XI tahun 1998 tentang Penyelenggara negara Yang Bersih dan Bersih Korupsi, Kolusi dan nepotisme berbunyi: “bahwa tuntutan hati nurani rakyat menghendaki adanya penyelenggara negara yang mampu menjalankan fungsi dan tugasnya secara sungguh sungguh dan penuh tanggung jawab agar reformasi pem bangunan dapat berdayaguna dan berhasilguna”.

Tentang kejahatan luar biasa (extraordinary crime) korupsi, Prof. Laura Underkuffler, pakar hukum pidana yang tersohor di Cornell Law School pada 2013 menulis “Dampak merusak (destructive effects) korupsi jauh lebih luas jika dibandingkan dengan kejahatan-kejahatan non luar biasa dan [korupsi] menghujamkan radang pada gagasan tentang kebaikan bersama dalam kehidupan bernegara. Watak buruk penggerogotan kelembagaan ini meletakkan korupsi sebagai suatu ancaman serius bagi keberlangsungan komunitas politik. oleh sebab itu, ia tidak bermoral !” Akibat “virus korupsi”, suatu sistem politik bisa menjadi berkarat, menyimpang, dan membusuk.

Jelas, virus korupsi sama bahayanya dengan virus corona! Covid-19 mematikan ribuan nyawa manusia dalam tempo 13 minggu, sedang virus korupsi merampok dana pembangunan sedemikian rupa sehingga puluhan juta rakyat kehilangan akses sandang pandang, pendidikan dan kesehatan yang lambat laun juga akan mematikan nyawa mereka, paling tidak membuat mereka jatuh ke jurang kemiskinan untuk waktu puluhan tahun. Maka, sama terhadap covid-19, virus korupsi pun harus diperangi terus menerus tanpa ampun. Koruptor kakap, dan koruptor elite tidak boleh diampuni dengan alasan apa pun.

Itu pula sebabnya kenapa Presiden Xi Jinpin pernah berkoar dengan ekspresi wajah marah: Saya tidak pernah ragu menghukum seberatnya koruptor yang merusak negara!

Jokowi pun bertekad memberantas korupsi ketika berkampanye untuk Pilpres 2014 karena menyadari jahatnya dampak dari “virus korupsi”. Maka, salah satu butir “nawacita” yang diluncurkannya bersama Jusuf Kalla ketika itu berbunyi “Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.”

Baca juga : Covid-19 Dan Tuna Peduli Politisi

Argumentasi Yasonna bahwa narapidana korupsi, narkoba dan terorisme–sama dengan napi kejahatan umum–punya hak juga dibebaskan kalau sudah berusia lebih dari 60 tahun dan menjalani hukuman lebih dari 2/3 HARUS DITOLAK, apalagi dengan alasan karena “daya imun tubuhnya [sudah] lemah.”

Berdasarkan catatan data Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, napi korupsi yang usianya telah melebihi 60 tahun sebanyak 90 orang. Sedangkan yang telah menjalani 2/3 masa hukumannya per 31 Desember 2020 tinggal 64 orang. Dari 64 nama napi itu, beberapa di antaranya mendapat sorotan tajam publik seperti kasus mereka di sidangkan di pengadilan seperti Setya Novanto, Jero Wacik, OC Kaligis, dan Patrialis Akbar. Total napi korupsi yang akan bebas jika Yasonna berhasil merevisi PP No. 99 tahun 2012 sekitar 300 orang.

Jika Presiden Jokowi termakan bujuk rayu Yasonna Laoly untuk membebaskan sekian ratus napi korupsi–dengan argumentasi perikemanusiawaan dan mencegah penyebaran covid-19 di lembaga pemasyarakatan melalui revisi PP no 99 tahun 2012, RUSAKLAH integritas Jokowi!

Mudah-mudahan Menko Polhukam Prof. Mahfud MD yang mantan pegiat anti-korupsi juga tidak tinggal diam. Jaga integritas Jokowi, Profesor !! ***

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.