Dark/Light Mode

Indonesia Menuju Darurat Sipil?

Rabu, 1 April 2020 07:28 WIB
Prof. Tjipta Lesmana
Prof. Tjipta Lesmana

RM.id  Rakyat Merdeka - “A lockdown is what they did in Wuhan, China,” Cuomo said. “We’re not in China, and we’re not in Wuhan. I don’t believe it would be legal. I believe it would be illegal.”

Andre Cuomo Gubernur negara Bagian New York, kota ekonomi nomor wahid di Amerika Serikat. Ia menentang keras pernyataan Presiden Donald Trump yang “mengkarantinakan wilayah” negara bagian New York. Cuomo bertambah marah karena deklarasi Trump dilakukan TANPA konsultasi, apalagi persetujuan dirinya sebagai Gubernur New York. Tidak lama setelah ia bersuara keras, termasuk bicara di layar televisi, Presiden Trump “ngeper” dan mengumumkan pembatalan status karantina wilayah New York.

Di Indonesia, berbagai pihak sejak 10 hari yang lalu sudah mendesak Presiden Jokowi menutup total atau wilayah tertentu Indonesia sebagai upaya efektif melawan Covid-19 yang sampai 31 maret 2020 sudah menerjang 1.528 jiwa dan menewaskan 136 warga kita. Para pemimpin global tidak tahu sampai kapan virus maut ini bergentayangan di manca dunia. Untuk Indonesia, bahkan, ada “prediksi ilmiah” yang mengatakan pandemi virus Corona ini bisa sampai akhir Mei atau Juni 2020. mengerikan kan?!

30 maret 2020, Jokowi sudah umumkan kebijakan “Pembatasan Sosial Berskala Besar”. Aturan teknis kebijakan ini masih digodok, dikoordinasi oleh Kantor Menko Polhukam. Tampaknya, dalam tempo 12 hari, aturan teknis itu sudah bisa diluncurkan.

Baca juga : Mempertanyakan Efektivitas `Setengah Lockdown`

Dengan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar, pemerintah Jokowi secara implisit menolak kebijakan Karantina Wilayah atau lockdown. Menurut Fadjroel Rachman, Juru Bicara Istana, penolakan lockdown didasarkan atas pengalaman beberapa negara yang menempuh kebijakan tersebut tapi gagal mengatasi pandemi Covid-19. India salah satu contoh kegagalan karantina wilayah yang disebut Istana. Di Brasil, Presidennya berbeda pendapat dengan menteri Kesehatannya. Presiden menolak keras dengan alasan perindustrian merosot tajam, rakyat makin miskin, karena banyak industri yang harus tutup. Toh, Menteri Kesehatan tetap berkilah itulah cara paling efektif untuk memutus rantai penyebaran virus Covid-19.

Jika permintaan Gubernur DKI kepada Presiden Jokowi tentang penberlakuan lockdown dikabulkan, konsekuensinya tidak main-main. Memang kita belum tahu apa yang ada di benak Anies Baswedan dengan rencana lockdown Jakarta. Namun, jika Jakarta dikunci total dalam arti orang Jakarta tidak boleh ke luar Ibukota kalau bukan karena alasan penting dan orang luar DKI tidak boleh masuk Ibukota, implementasinya bakal ruwet!

Hal ini terkai dengan nasib tidak kurang 5 juta warga Depok, Tangerang, Bekasi, dan Karawang yang sehari-hari mencari nafkahnya di Jakarta. Bagaimana pula dengan nasib industri-industri berskala nasional yang pabriknya berlokasi di Tangerang, Bekasi dan Karawang? Bakal setengah mati alias harus dikarantina juga!

Kalau bukan kebijakan karantina wilayah (lockdown), apa kebijakan lain yang kemungkinan besar akan dikeluarkan pemerintan setelah Jokowi kemarin mengumumkan terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang (Perppu) tentang Perubahan APBN 2020? Perppu itu sepenuhnya mengatur langkah-langkah pemerintah menyelamatkan ekonomi nasional dan membantu rakyat yang terkena dampak serius pandemi Covid-19. Perppu sama sekali tidak menyentuh apa langkahlangkah konkret yang bakal diambil pemerintah untuk mengatasi secara tuntas pandemi Covid-19?

Baca juga : Covid-19 Dan Tuna Peduli Politisi

Kebijakan penting yang bakal dikeluarkan pemerintah, menurut hemat saya, adalah Deklarasi Keadaan Darurat Sipil di seluruh Tanah air. Dasar hukum Keadaan Darurat Sipil dan/ atau Keadaan Darurat militer adalah Perppu yang ditandatangani Presiden Soekarno pada 16 Desember 1959. Keadaan Darurat Sipil/militer muncul, lain, jika “hidup negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan-keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala-gejala yang dapat membahayakan hidup negara” (Pasal 1 ayat 3).

Darurat sipil bisa diberlakukan di seluruh negara, atau terbatas di wilayah tertentu saja.

Keadaan darurat suatu negara, pada level tertinggi adalah Darurat Sipil Militer. Pada situasi ini, militer sepenuhnya menjalankan roda pemerintahan dengan cara “tangan besi”. Darurat Sipil berada setingkat di bawah Darurat Militer. Presiden menjalankan roda pemerintahan dengan kekuasaan super, melampaui batas segala peraturan hukum yang ada. Di daerah, Kepala Daerah yang memegang kendali kekuasaan secara super. Baik dalam keadaan darurat sipil, apalagi darurat militer, penguasa dapat menerbitkan peraturan apa pun yang dipandang perlu atau urgent. Hak-hak asasi manusia sementara dapat “dibekukan” Kebebasan menyatakan pendapat, termasuk kebebasan pers dibungkam.

Pasal 13 Perppu 16 Desember 1959 dengan tegas menyata kan “Penguasa Darurat Sipil berhak mengadakan peraturan peraturan untuk membatasi pertunjukan-pertunjukan, percetakan, penerbitan, pengumuman, penyampaian, penyimpanan, penyebaran, perdagangan dan penempelan tulisan-tulisan berupa apapun juga, lukisan-lukisan, klise-klise dan gambar gambar.” Polri, dibantu TNI merupakan instansi utama yang mengamankan Keadaan Darurat Sipil, khususnya di bidang law enforcement.

Baca juga : Papua Bergoyang Terus

Kelompok LSM, HAM dan media hampir dipastikan akan menentang keras pemberlakuan Keadaan Darurat Sipil. Fraksi PKS di MPR sudah menyatakan menolak rencana pemberlakuan Darurat Sipil. Akan tetapi, jika virus Corona terus menelan korban jiwa dengan angka yang melonjak terus, dan untuk jangka waktu yang masih “gelap” berakhirnya, kenapa tidak? Betul kata Presiden Jokowi, imbauan-imbauan saja tidak efektif. Jangan keluar rumah, jangan kumpul di tempat keramaian, dan social distancing masih tetap dicuekin oleh sebagian masyarakat kita, padahal itu kunci dari penghentian penyebaran virus Corona.

Apa boleh buat, imbauan imbauan harus segera ditranformasikan menjadi “paksaan” dengan sanksi hukum yang berat. Jika imbauan untuk tidak mudik tidak dihiraukan, penguasa darurat sipil punya kewenangan menyegel/menutup sementara perusahaan-perusahaan bus antarkota. Jika viral informasi hoax terkait Covid-19 masih merajalela, aparat bisa ciduk pelakunya dan langsung menjebloskannya dalam penjara tanpa melalui proses hukum.

Dalam pernyataannya di Istana Bogor 30 Maret yang baru lalu, Presiden Jokowi menegaskan “Saya minta kebijakan pembatasan sosial berskala besar [dan] physical distancing, dilakukan lebih tegas, lebih disiplin dan lebih efektif lagi sehingga tadi sudah saya sampaikan, bahwa perlu didampingi adanya kebijakan darurat sipil.” ***

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.