Dark/Light Mode

Diskrepansi Data Berpotensi Lahirkan Kebijakan Tak Efektif

Kamis, 1 Desember 2022 23:40 WIB
Foto: Ist.
Foto: Ist.

RM.id  Rakyat Merdeka - Data memiliki peran penting dalam suatu kementerian/lembaga. Penghimpunan data yang berbeda seringkali menimbulkan kebingungan di publik.

Situasi yang sering disebut diskrepansi ini, memiliki potensi menghambat implementasi kebijakan-kebijakan strategis pemerintah.

Multitafsir terhadap data yang berbeda-beda berpotensi memicu perumusan kebijakan yang tidak efektif. Diskrepansi data kesehatan, misalnya, terjadi dalam ketidakselarasan data prevalensi perokok anak antara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Badan Pusat Statistik (BPS).

Baca juga : Kuasai Literasi Digital Untuk Imbangi Kemajuan Teknologi

Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan setiap tahun oleh BPS menunjukkan adanya tren penurunan prevalensi perokok anak selama empat tahun terakhir, atau sejak integrasi dengan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dicatat Kemenkes.

Sebaliknya, Kemenkes menyebut prevalensi perokok anak meningkat dengan mengacu Riskesdas, dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 9,1 persen pada 2018.

Direktur Statistik Kesejahteraan Rakyat BPS Ahmad Avenzora menjelaskan, mengapa hasil pendataan beda lembaga ini bisa memberikan hasil yang berbeda. Faktor-faktornya mulai dari metode, cakupan survei sampai waktu pengambilan data.

Baca juga : Didik Mukrianto: Karang Taruna Komit Lahirkan Generasi Unggul Berwatak Sosial

“Salah satu perbedaan terjadi karena cakupan jenis produk yang berbeda. Riskesdas turut mencakup produk selain rokok seperti shisa. Sementara dalam Susenas, BPS hanya menghitung rokok. Selain terkait cakupan, waktu survei juga bisa saja memengaruhi perbedaan angka tersebut,” ungkap Ahmad dalam keterangannya, dikutip Kamis (1/12).

Ahmad menambahkan perbedaan pendekatan ini pula yang menyebabkan hasil pendataan yang berbeda. Apalagi Susenas dilakukan setiap tahun, sementara Riskesdas dilakukan setiap lima tahun. Terakhir dilakukan pada 2018 dan akan dilakukan kembali pada 2023.

Direktur Pusat Studi konstitusi dan Legislasi Nasional UIN Syarif Hidayatullah Nur Rohim Yunus menilai, diskrepansi data prevalensi perokok anak tak hanya menciptakan situasi multitafsir dalam merepresentasikan realitas dalam data. Namun dapat berakibat pula dalam perumusan kebijakan publik yang tidak efektif bahkan salah sasaran.

Baca juga : Menperin: Indeks Kepercayaan Industri Jadi Sumber Acuan Kebijakan

“Implikasi yang timbul dari adanya diskrepansi data prevalensi perokok anak di Indonesia berakibat pada kesalahan dalam pengambilan kebijakan kesehatan dari pemerintah, khususnya di Kementerian Kesehatan,” timpal Nur Rohim.

Menurut hematnya, Kementerian terkait semestinya merujuk pada data Susenas yang dilakukan oleh lembaga resmi negara seperti diwajibkan oleh undang-undang.

Namun, ia mengamati bahwa sekarang justru mengambil data dari lembaga asing sebagai rujukan. Nur Rohim berpandangan bahwa hal ini malah memperparah diskrepansi data yang ada. Selain itu juga memunculkan kesan bahwa BPS terpinggirkan oleh lembaga asing.
 Selanjutnya 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.