Dark/Light Mode

Peringati 13 Tahun Lapindo

Ganti Rugi Kok Tak Sepadan

Jumat, 31 Mei 2019 10:13 WIB
Massa dari Kelompok Perempuan Korban Lapindo membentangkan foto rumah yang terendam lumpur saat melakukan aksi peringatan 13 tahun semburan lumpur Lapindo di depan Kantor Gubernur Jawa Timur di Surabaya, Jawa Timur, Rabu (29/5/2019). Dalam aksi tersebut massa mengajukan sejumlah tuntutan kepada pemerintah diantaranya menuntut ganti rugi yang belum terselesaikan, menolak wacana penghapusan desa terdampak lumpur, pulihkan kerusakan lingkungan serta pemenuhan hak-hak korban semburan lumpur Lapindo. (ANTARA FOTO)
Massa dari Kelompok Perempuan Korban Lapindo membentangkan foto rumah yang terendam lumpur saat melakukan aksi peringatan 13 tahun semburan lumpur Lapindo di depan Kantor Gubernur Jawa Timur di Surabaya, Jawa Timur, Rabu (29/5/2019). Dalam aksi tersebut massa mengajukan sejumlah tuntutan kepada pemerintah diantaranya menuntut ganti rugi yang belum terselesaikan, menolak wacana penghapusan desa terdampak lumpur, pulihkan kerusakan lingkungan serta pemenuhan hak-hak korban semburan lumpur Lapindo. (ANTARA FOTO)

RM.id  Rakyat Merdeka - Semburan lumpur Lapindo berlangsung sejak 29 Mei 2006. Akibatnya, warga sekitar area penambangan milik PT Minarak Lapindo Brantas harus kehilangan rumah, lahan pertanian, sarana dan prasarana umum. Bahkan harus pindah ke tempat lain.

Selama 13 tahun ini, warga korban semburan lumpur didamping pegiat lingkungan hidup terus mendesak pemerintah menegakkan hukum dan menuntut ganti rugi yang layak. Namun pemberian ganti rugi dirasakan tidak sepadan dengan kerugian yang dialami warga.

Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Merah Johansyah menuturkan, nilai ganti rugi baik yang sudah dibayarkan perusahaan maupun ditalangi oleh pemerintah untuk para warga korban lumpur Lapindo masih belum adil. Alasannya, ganti rugi ini ternyata hanya mengganti nilai nominal 10.426 rumah warga yang terdampak lumpur.

“Ini bukan ganti rugi, tapi ini kemudian direduksi jadi sekadar praktik jual beli tanah dan bangunan saja. Padahal seharusnya, ganti rugi ini harus memperhitungkan dampak materiil dan immateriil. Tapi entah kenapa, ganti rugi ini seolah-olah menjadi jalan keluar bagi kasus ini,” sebutnya.

Baca juga : Tinggalkan Milan, Gattuso Tak Ambil Sisa Gaji

Padahal para korban tidak hanya kehilangan rumah, lahan pertanian dan pekerjaan. Korban juga kehilangan masa depan yang kalau dihitung secara nominal bisa fantastis jumlahnya. Bahkan para korban kini juga banyak yang terpapar logam berbahaya seperti besi, mangan, kobalt, boron, hingga kadmium.

Sehingga, pemerintah juga harus memberikan bantuan kesehatan bagi anak-anak maupun warga yang trauma pasca semburan lumpur. “Jadi secara kasar, ganti rugi yang diberikan pemerintah mungkin hanya 2 persen dari kebutuhan yang sebenarnya. Pemerintah dalam hal ini juga harus bertanggung jawab karena mereka yang memberikan izin usaha kepada Lapindo,” jelas Merah.

Manajer Kampanye Perkotaan, Tambang, dan Energi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Dwi Sawung mengatakan, pemerintah harus tegas kepada Lapindo soal pembayaran ganti rugi yang lebih banyak. “Harusnya pemerintah tak usah melihat kemampuan finansial Lapindo terkait ganti rugi, mengingat itu sudah menjadi kewajiban Lapindo,” katanya.

Selain itu, pemerintah harusnya tidak memberikan izin usaha kepada Lapindo jika mereka melakukan ekspansi. Pihaknya menyayangkan ketika pemerintah ternyata memberikan izin eksplorasi kepada Lapindo di Jombang, Jawa Timur.

Baca juga : Pertamina Tambah Penyaluran Elpiji di Bengkalis

Menurut Dwi, salah satu bentuk ganti rugi yang harus segera diwujudkan Lapindo adalah melakukan pemulihan ekosistem. “Karena itu nilainya yang sangat besar. Di sisi lain, Lapindo dan pemerintah wajib memberikan ganti rugi sosial kepada masyarakat,” imbuhnya.

Direktur Walhi Jawa Timur, Rere Christianto meminta pemerintah melakukan kajian mengenai subsidence (amblesan tanah) dan sebaran gas berbahaya yang disebabkan luapan lumpur tersebut. “Seberapa luas sebaran logam berat di situ. Sebaran gas H2S seberapa luas subsiden di daerah itu. 

Sementara kita tidak tahu seberapa luas sebaran itu kita tidak bisa melakukan apa yang harus di kampung-kampung itu,” katanya,

Jika tidak segera ditangani, dikhawatirkan semburan lumpur Lapindo itu akan membawa masalah lanjutan. Ditambah lagi, pencemaran udara dan air di lingkunan tersebut belum teratasi dengan baik.

Baca juga : Wiranto: Pemerintah Sudah Tahu Siapa Dalang Kerusuhan

“Kondisi ini bisa memicu kanker, ditambah dengan ketiadaan jaminan kesehatan untuk korban yang ada di sana itu memberikan pukulan serius terhadap usaha pemulihan kepada korban yang dulu pernah dibayarkan,” katanya.

Dari hasil survei Walhi Jatim pada 2016, kandungan logam di udara di sekitar semburan lumpur Lapindo diketahui melebih ambang batas normal. Kondisi itu dikhawatirkan akan merusak organ tubuh manusia, seperti paru-paru dan ginjal. [OSP]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.