Dark/Light Mode

Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
Anies & Muhaimin
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
Prabowo & Gibran
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
Ganjar & Mahfud
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU

Bukan Cuma Buat Covid, Whole Genome Sequencing Juga Bisa Untuk Tuberkulosis

Rabu, 24 November 2021 14:06 WIB
Prof. Tjandra Yoga Aditama (Foto: Istimewa)
Prof. Tjandra Yoga Aditama (Foto: Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Selama ini, kita mengenal penggunaan “Whole Genome Sequencing (WGS)” untuk mendeteksi adanya kemungkinan varian baru Covid-19.

Namun sebetulnya, pemeriksaan WGS juga dapat dilakukan untuk berbagai penyakit lain, salah satunya tuberkulosis (TB).

Data Global TB Report 2021 menunjukkan, Indonesia adalah penyumbang kasus TB ketiga terbesar di dunia.

Indonesia masuk ke dalam 10 negara dengan beban tinggi sekaligus untuk TB, TB&HIV dan juga TB MDR/RR. Serta penyumbang kedua terbesar yang menyebabkan penurunan notifikasi kasus TB di dunia akibat COVID-19, sesudah India.  

Baca juga : Tak Cuma Skip Karantina, Rachel Vennya Juga Bawa Anak Kecil Ke Bali

Terkait hal ini, mantan Direktur WHO Asia Tenggara Prof. Tjandra Yoga Aditama menyebutkan, penggunaan WGS untuk TB, memang belum digunakan dalam aspek keputusan klinik sehari-hari. Saat ini, penggunaan WGS lebih ditujukan untuk surveilans resistensi obat dan pemetaan daerah, dengan masalah tertentu (hot spot mapping).

WGS juga dapat digunakan sebagai salah satu modalitas analisis epidemiologi tuberkulosis, serta keperluan riset.  

"Pada 25 Juni 2021, WHO untuk pertama kalinya menerbitkan buku katalog mutasi kuman tuberkulosis, terkait resistensi obat TB, yang menganalisis 38 ribu isolat dari 40 negara. Sayangnya, tidak termasuk Indonesia," kata Prof. Tjandra, Rabu (24/11).

Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) dan Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI ini menyebut, ada enam manfaat dari program surveilans resistensi obat.

Baca juga : Bantu Tangani Covid, Polda Metro Gelar Vaksinasi Di Cisauk Tangerang

Pertama, untuk memperkirakan besarnya masalah penyakit (disease burden). Kedua, untuk memonitor kecenderungan (trend) dari waktu ke waktu.

Ketiga, untuk perencanaan pelayanan diagnosis dan pengobatan. Keempat, untuk menilai efektivitas program intervensi.

Kelima, untuk merumuskan regimen terapi yang efektif. Keenam, untuk kebijakan program manajemen resistensi tuberkulosis di disuatu negara.  

Prof. Tjandra mengatakan, program penanggulangan TB paru yang resisten obat di Indonesia, nampaknya masih harus terus ditingkatkan dengan lima alasan.

Baca juga : Di Showroom Baru Lixil, Pengunjung Bisa Coba Produk Toilet Berteknologi

Pertama, data tahun 2020 menunjukkan bahwa penemuan dan notifikasi kasus TB resisten obat baru mencapai 34 persen dari estimasi kasus yang ada. Kedua, dari yang ditemukan, baru 57 persen yang menjalani pengobatan.

Ketiga, berdasar data kohort sejak 2018, keberhasilan pengobatan TB resisten obat baru mencapai 47 persen. Keempat, belum semua kabupaten/kota memiliki pusat pelayanan untuk penanganan pasien TB resisten obat.

"Kelima, belum semua provinsi memiliki fasilitas pemeriksaan kultur resistensi atau Laboratorium Line Probe Assay (LPA) (2020)," pungkas Prof. Tjandra yang juga mantan Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) & Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan. [HES] 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.