Dark/Light Mode

Mahkamah Konstitusi Dulu Dan Sekarang

Selasa, 4 Januari 2022 13:01 WIB
Hudson Hutapea (Foto: Istimewa)
Hudson Hutapea (Foto: Istimewa)

 Sebelumnya 
Terobosan Putusan Ultra Petita
Seorang hakim dianggap ultra petita dapat ditentukan dengan dua batasan. Pertama, dalam hal hakim menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut. Kedua, dalam hal hakim meluluskan atau mengabulkan lebih dari apa yang dituntut. Putusan MK Nomor 49/PUU-IX/2011 tanggal 18 Oktober 2011 merupakan terobosan, ketika Hakim Konstitusi membatalkan ketentuan mengenai larangan putusan ultra petita yang termuat dalam UU Nomor 8 Tahun 2011. MK berpendapat bahwa format pembentukan MK dalam kewenangan pengujian undang-undang adalah untuk membenahi hukum, termasuk membuat aturan baru yang dibutuhkan untuk dapat menutup kekosongan hukum yang terjadi. MK menilai adanya larangan ultra petita akan membatasi mahkamah memberikan keadilan substantif dan konstitusional, karena MK berfungsi melindungi hak-hak konstitusional yang tidak hanya tertulis di teks konstitusi UUD 1945, tetapi merujuk pada nilai-nilai yang terkandung di dalamnya (implied values). Oleh karena itu, MK dalam perkara tertentu terkadang tidak hanya mempertimbangkan petitum yang disajikan oleh pemohon semata.

Dalam pratik telah ada beberapa putusan MK yang mengandung muatan ultra petita. Di antara putusan-putusan tersebut adalah Perkara Nomor 001-021-022/PUU-I/ 2003, Perkara Nomor 007/PUUIII/2005, Perkara Nomor 003/ PUUIV/2006, Perkara Nomor 005/PUUIV/2006, Perkara Nomor 006/PUU-IV/ 2006, Perkara Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, Perkara Nomor 101/PUU-VII/2009, dan Perkara Nomor 11- 14-21-126-136/PUU-VII/ 2009.

Dari beberapa putusan yang dibahas tersebut, dapat disimpulkan bahwa terdapat empat kelompok pertimbangan hakim yang melandasi dibuatnya amar putusan ultra petita. Pertama, bagian dari undang-undang (ayat, pasal, penjelasan, dan sebagainya) yang dari undang-undang, sehingga seluruh pasal tidak dapat dilaksanakan dan harus dinyatakan tidak berkekuatan hukum mengikat seluruhnya. Kedua, bagian dari undang- undang (ayat, pasal, penjelasan, dan sebagainya) yang diminta diuji berkaitan dengan pasal-pasal lainnya yang tidak dapat dipisahkan, sehingga pasal yang berkaitan tersebut akhirnya dinyatakan tidak berkekuatan hukum juga. Ketiga, demi menghindari kekacauan hukum, maka ditempuh penundaan keberlakuan mengikatnya putusan sambil menunggu dibentuknya aturan perubahan yang baru. Keempat, pertimbangan hukum MK dalam masalah ultra petita hanya dikaitkan dengan pertimbangan hukum pokok permohonan, bahkan tidak jarang terkesan muncul secara tiba-tiba.

Baca juga : Tepat, Langkah Polri Pertimbangkan Legitimasi Hukum Dan Sosial

Terobosan MK dalam membuat putusan ultra petita pada prinsipnya adalah bentuk dari penegakan hukum yang progresif. Dalam konteks putusan ultra petita yang menguji UU Ketenagalistrikan misalnya, hakim MK telah berani melakukan kreativitas dan rule breaking dalam menjadikan aturan lebih bermakna dan fungsional bagi terciptanya keadilan. Akan tetapi, perlu digarisbawahi, bahwa kreativitas apapun yang dilakukan oleh penegak hukum dapat menjadi tidak bermakna progresif manakala tidak untuk mewujudkan keadilan subtantif, menempatkan keadilan, kemanfaatan dan kebahagiaan manusia sebagai tujuan akhirnya. Karenanya, perubahan progresif atas UU MK menjadi salah satu alternatif bagi terwujudnya penegakan hukum yang progresif.

Kelemahan Putusan Bersyarat
Putusan konstitusional bersyarat yakni, permohonan suatu undang-undang yang amarnya dinyatakan ditolak atau tidak dapat diterima oleh MK, dikarenakan dalil pemohon adalah tidak bertentangan dengan UUD 1945, maka tidak dapat dilakukan suatu pengabulan sesuai apa yang ada di surat permohonan oleh pemohon.

Putusan MK konstitusional bersyarat pertama terdapat dalam putusan MK Nomor 58-59-60-63/PUU-II/2004 mengenai pengujian UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA). Dalam hal ini, walaupun putusannya ditolak, MK memasukkan klausul konstitusionalitas bersyarat. Oleh karenanya, UU SDA bersifat konstitusional sepanjang implementasinya, pemerintah wajib mengacu pada pertimbangan MK yang disampaikan dalam putusan MK tersebut. Dalam syarat konstitusional putusan MK tersebut, selama UU SDA dilaksanakan untuk memenuhi kewajiban negara dalam HAM yakni: menghormati (respect), melindungi (protect), dan memenuhi (fulfil) hak warga negara atas air.

Baca juga : Bahasa Asing Yang Penting Untuk Dipelajari Anak Mulai Dari Sekarang

Sedangkan inkonstitusional bersyarat, putusan MK, ketika permohonan tersebut dikabulkan, saat pasal yang dimohonkan oleh pemohon adalah benar ternyata melanggar atau tidak sesuai dengan UUD 1945. Namun kemudian, demi kepentingan dan ketertiban umum, MK akan menyatakan hal ini sebagai inkonstitusional bersyarat.

Putusan MK inkonstitusional bersyarat yang terbaru dan penuh perdebatan panas publik yaitu Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang UU nomor 11 tahun 2020 Cipta Kerja. Hakim MK menyatakan, pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak putusan dibacakan”. MK menyatakan, UU Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu 2 tahun.

Secara faktual, penerapan konstitusional dan inkonstitusional bersyarat menjadi kurang efektif. Dikarenakan kecenderungan putusan MK tersebut diabaikan oleh para pemohon dan termohon. Merujuk pada pendapat Maruarar Siahaan menyatakan bahwa efektivitas checks and balances putusan MK dapat dilihat dari dilaksanakan atau tidaknya bunyi putusan MK oleh pembuat undang-undang. Kepatuhan dalam implementasi putusan MK itu dapat pula menjadi ukuran apakah UUD 1945 yang menjadi hukum tertinggi dalam negara sungguh-sungguh menjadi hukum yang hidup.

Baca juga : Gerindra Bidik 12 Kursi DPRD Kabupaten Pemalang

Harus diakui, MK tidak memiliki aparat dan kelengkapan apapun untuk menjamin penegakan keputusannya meskipun secara alamiah kelembagaan, akan tetapi MK berkepentingan untuk melihat putusannya dihormati dan dipatuhi. Tidak ada polisi atau juru sita pengadilan atau instrumen lain untuk melaksanakan apapun yang diputuskan MK atau yang menurut putusan tersebut harus dilaksanakan. Oleh sebab itulah, kekuasaan kehakiman, khususnya MK dapat dipandang sebagai cabang kekuasaan negara yang paling lemah.***

Penulis: Advokat/Mahasiswa Magister Hukum Universitas Indonesia 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.