Dark/Light Mode

Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
Anies & Muhaimin
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
Prabowo & Gibran
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
Ganjar & Mahfud
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU

Peneliti : Perlindungan Konsumen Kudu Diperkuat Lewat Revisi UU PK

Jumat, 4 Maret 2022 22:14 WIB
Peneliti : Perlindungan Konsumen Kudu Diperkuat Lewat Revisi UU PK

RM.id  Rakyat Merdeka - Pemerintah perlu memperkuat upaya perlindungan konsumen, salah satunya melalui revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU PK).

Pandemi Covid-19 sudah menunjukkan perlindungan konsumen di Indonesia masih lemah, lewat fenomena panic buying dan melonjaknya harga beberapa komoditas penting.

“Revisi Undang-undang PK perlu dilakukan untuk merespons dinamika yang terjadi di masyarakat. Undang-undang perlu relevan dengan perkembangan perdagangan offline dan e-commerce dan juga aspek untuk melindungi konsumen di kedua platform tersebut,” jelas Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan.

Baca juga : Lestari: Beri Perlindungan Sistematis Bagi Tenaga Kesehatan

Pingkan memaparkan, UU PK merupakan dasar hukum utama untuk perlindungan konsumen di Indonesia. Berdasarkan UU PK terdapat beberapa hak-hak konsumen yaitu diperlakukan secara jujur; hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang atau jasa.

Selain itu, hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur; serta hak untuk mendapatkan perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa konsumen.

Berdasarkan penelitian CIPS, meskipun UU PK secara umum telah menjabarkan hak-hak konsumen, namun UU ini masih belum mengakomodasi hak-hak konsumen dalam transaksi digital sebab beberapa ketentuan terkait transaksi digital belum dibahas secara memadai.

Baca juga : Mentan Dorong Petani Bone Tingkatkan Produksi Padi Lewat Terobosan IP400

Sebagai contoh, saat ini masyarakat mulai menggunakan platform e-commerce untuk melakukan transaksi. Akan tetapi, e-commerce merupakan pihak ketiga yang bersifat sebagai penghubung antara penjual dengan konsumen.

Platform berperan penting dalam menengahi sengketa dan memfasilitasi ganti rugi antara konsumen dengan penjual.

Namun UU PK belum mengakomodir posisi pihak ketiga. Perlindungan konsumen juga dibahas pada Undang-Undang Nomor 7 tahun 2014 tentang Perdagangan (UU Perdagangan).

Baca juga : Bamsoet Dukung Rencana Revisi UU Perlindungan Konsumen

UU Perdagangan mewajibkan bisnis online untuk menyediakan informasi yang lengkap dan jelas.

Selain itu, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 80 tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PP PMSE) juga membahas mengenai perdagangan elektronik dan sudah memberikan sanksi untuk pelanggaran seperti iklan yang tidak sesuai.

“Sayangnya mekanisme ganti rugi dalam PP PMSE tidak konsisten dengan UU PK. UU PK mengatur ganti rugi dilakukan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSKI). Sedangkan dalam PP PMSE disebutkan hal ini dilakukan oleh Kementerian Perdagangan. Hal ini menunjukkan perlunya menyelaraskan mekanisme ganti rugi dan pelaporan agar tidak membuat konsumen bingung dan memperjelas tanggung jawab antara kementerian maupun lembaga terkait,” tegasnya.
 Selanjutnya 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.