Dark/Light Mode

Soal Sawit, Banteng Nanduk Luhut

Sabtu, 9 Juli 2022 07:30 WIB
Pekerja menurunkan Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit dari atas mobil di Desa Lemo - Lemo, Kabupaten Mamuju Tengah, Sulawesi Barat, Sabtu (2/7/2022). Harga TBS kelapa sawit tingkat pengepul sejak sebulan terakhir mengalami penurunan harga dari Rp2.280 per kilogram menjadi Rp800 per kilogram disebabkan banyaknya produksi. (ANTARA FOTO/Akbar Tado/rwa).
Pekerja menurunkan Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit dari atas mobil di Desa Lemo - Lemo, Kabupaten Mamuju Tengah, Sulawesi Barat, Sabtu (2/7/2022). Harga TBS kelapa sawit tingkat pengepul sejak sebulan terakhir mengalami penurunan harga dari Rp2.280 per kilogram menjadi Rp800 per kilogram disebabkan banyaknya produksi. (ANTARA FOTO/Akbar Tado/rwa).

 Sebelumnya 
Menurut dia, anjloknya harga TBS sawit petani disebabkan oleh banyak faktor. Di antaranya kerusakan rantai pasok terkait moratorium ekspor, mekanisme perizinan ekspor (PE) yang memakan waktu, kebijakan distribusi minyak goreng yang kacau, hingga tingginya beban pungutan ekspor dan flusing out.

"Kekacauan itulah yang menyebabkan harga TBS petani hancur di bawah kewajaran. Jadi, jangan cari kambing hitam soal Ukraina, sebab harga keekonomian TBS dan CPO itu ambruk karena kapasitas tangki yang overload sehingga tidak mampu menampung TBS dan siklus CPO-nya tidak bisa berjalan normal,” tuturnya.

Lebih lanjut, Deddy menjelaskan, pengelolaan CPO dan minyak goreng di bawah Luhut telah gagal total. Ekspor tertahan dan merugikan negara, perusahaan dirugikan karena kualitas CPO menurun, dan petani kecil menjerit karena harga yang terjun bebas.

Baca juga : Batal Pailit, Ayo Garuda Bangkit Dan Terbang Tinggi Lagi

Bahkan, lanjut dia, di saat demand global menurun nyaris 30 persen, harga TBS dan CPO tetap rontok di bawah harga keekonomian. “Kenapa? Karena rantai pasok komoditas tersebut tersendat,” ujarnya.

Dalam pandangan Deddy, kondisi ini yang mendorong pasar global mencari jalan keluar untuk memenuhi kebutuhan minyak nabati mereka. Dan itu didapat dari mulai mengalirnya minyak nabati selain sawit di dunia, salah satunya minyak bunga matahari dari Ukraina.

“Jadi masalahnya ada pada pengelolaan industri sawit di Indonesia yang carut marut, bukan semata-mata karena pengaruh global,” tuturnya.

Baca juga : Formula 1, Banteng Merah Waspada Mercedes

Atas dasar itu, Deddy menyebut jalan keluarnya adalah memperbaiki mata rantai produk sawit. Di mana jaminan pasokan dalam negeri terjaga, baik volume maupun harganya.

Petani sawit juga mendesak pemerintah mempercepat upaya penanganan harga TBS sawit. Sehingga bisa menekan efek domino pelemahan harga TBS petani, termasuk aksi-aksi yang mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat.

Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung mengatakan, saat ini harga TBS terus turun. "Teman-teman petani itu sekarang mengambil kebijakan tidak memanen. Karena upah memanen hingga pengiriman itu lebih mahal. Sekarang harga 1 kg TBS nggak cukup bayar parkir. Kan kejam sekali," beber Gulat.

Baca juga : Banteng Senayan Mulai Berani Nyebut Ganjar

Selain itu, kata Gulat, anjloknya harga TBS di tingkat petani sawit menyebabkan penjualan ke Malaysia masih terus berlanjut. "Petani menjual TBS-nya langsung lintas perbatasan negara sampai saat ini masih berlanjut," kata Gulat. ■

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.