Dark/Light Mode

Kasus Pencemaran Etilen Glikol & Dietilen Glikol Bukan Barang Baru, Ini Biang Keroknya

Minggu, 23 Oktober 2022 11:04 WIB
Ilustrasi obat dalam bentuk sirup (Foto: Istimewa)
Ilustrasi obat dalam bentuk sirup (Foto: Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Pengumuman daftar obat yang mengandung etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG), bahan pelarut industri yang dapat menyebabkan gagal ginjal, jelas membikin resah orang tua.

Betapa tidak. Senyawa berbahaya yang tidak boleh dikonsumsi manusia itu, jadi pencemar propylene glicol di sirup obat. 

Kalau tertelan, bisa merusak otak, ginjal, dan jantung.

Fakta ini membuat banyak yang tak habis pikir, mengapa obat yang selama ini aman dikonsumsi, tiba-tiba tercemar.

Soal ini, Associate Professor sekaligus Pakar Bioteknologi Universiti Putra Malaysia, Bimo Ario Tejo PhD mengatakan, kasus pencemaran EG dan DEG bukan pertama kali terjadi.

Baca juga : IAI: Etilen Glikol & Dietilen Glikol Pada Bahan Tambahan Obat Sirup Tak Berbahaya

Sejak 1937, kasus ini sudah 16 kali terjadi. Penyebabnya ada dua.

Pertama, pemalsuan kandungan bahan kimia dengan menggunakan bahan yang lebih murah atas alasan profit.

Kedua, lemahnya pengawasan terhadap bahan baku dan proses pembuatan obat (Schier et al, 2009).

Bimo menjelaskan, harga propilen glikol dan gliserol yang aman dan biasa dipakai sebagai pelarut obat dalam sirup, memang mengalami kenaikan di masa pandemi Covid. Terutama, setelah Maret 2021.

Hal ini dipicu oleh kelangkaan bahan baku, dan tingginya permintaan dari sektor farmasi akibat ledakan kasus Covid di India.

Baca juga : Bareskrim Tetapkan Dua Tersangka Baru

"Tingginya harga propilen glikol dan gliserol, diperkirakan menjadi sebab beredarnya bahan kimia alternatif yang lebih murah, tetapi berkualitas buruk dan berbahaya," kata Bimo via laman Instagramnya, Sabtu (22/10).

Dia menyebut, kasus keracunan obat di Gambia baru-baru ini diduga akibat penggunaan propilen glikol berkualitas buruk. Mengingat kadar DEG yang ditemukan, mencapai 19 persen. Padahal seharusnya, tidak boleh melebihi 0,1 persen.

Bimo kemudian mencontohkan kasus keracunan obat batuk di Panama, pada tahun 2006.

"Kasus keracunan obat batuk di Panama, yang mengakibatkan 365 orang meninggal, terjadi karena gliserin yang diimpor mengandung 22 persen DEG. Ada faktor kesengajaan dari produsen dan penyalur untuk mencari keuntungan," paparnya.

Hasil analisis kasus Panama menunjukkan, otoritas setempat tidak melakukan analisis dengan teliti. Hanya menggunakan teknik sederhana, yang tidak bisa mendeteksi kontaminasi DEG dalam gliserin.

Baca juga : Resmikan Tol Cibitung-Cilincing, Jokowi: Mobilitas Barang Jadi Sangat Cepat

Sementara pada kasus keracunan obat di Haiti (1995), alat analisis (HPLC) yang dimiliki otoritas setempat rusak. Tidak ada seorang pun yang bisa mengoperasikannya.

Agar peristiwa serupa tak terulang kembali, Bimo menekankan pentingnya aspek pengawasan. Apalagi, naiknya harga bahan baku pembuatan obat akhir-akhir ini, memunculkan risiko beredarnya bahan baku obat berkualitas rendah dan tidak aman.

"Pengawasan harus dilakukan sejak hulu, mulai dari produksi bahan baku, sampai hilir produksi obat, untuk mencegah terulangnya tragedi yang sama," pungkas Bimo. ■

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.