Dark/Light Mode
RM.id Rakyat Merdeka - Bekas Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi Abdurrachman datang memenuhi panggilan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pagi ini. Ia datang sekitar pukul 09.55 WIB, dengan mengenakan baju batik berwarna cokelat-merah marun lengan panjang. Begitu tiba, Nurhadi langsung bergegas masuk ke dalam gedung KPK, tanpa mengindahkan sejumlah pertanyaan dari para wartawan. Ia hanya melemparkan senyum. Nurhadi diperiksa sebagai saksi dalam kasus suap panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang menyeret eks petinggi Lippo Group Eddy Sindoro.
Pemeriksaan hari ini merupakan panggilan kedua bagi Nurhadi. Sebelumnya, dia mangkir saat dijadwalkan pemeriksaan pada 29 Oktober lalu.
Istri Nurhadi, Tin Zuraida, juga dijadwalkan menjalani pemeriksaan pada Jumat pekan lalu. Namun, Tin berhalangan hadir. KPK menyatakan telah menerima surat dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB), yang menyatakan Tin sedang melaksanakan tugas perjalanan dinas di luar negeri, terhitung tanggal 3 sampai 7 November 2018. Tin adalah Staf Ahli Bidang Politik dan Hukum Kementerian PANRB. ”Sehingga, ada permintaan penjadwalan ulang setelah itu,” ujar Jubir KPK Febri Diansyah.
Febri mengatakan, KPK menyambut baik bantuan yang diberikan Kementerian PANRB tersebut. Menurut dia, pihaknya sudah berkoordinasi terkait pemanggilan Tin, yang merupakan pegawai Kementerian PANRB. Nurhadi diperiksa sekitar 6,5 jam. Pukul 16.30 WIB, dia keluar dari lobi Gedung KPK. Sambil berjalan cepat, Nurhadi menjawab pertanyaan-pertanyaan wartawan dengan “ala kadarnya”.
Baca juga : Bos Segede Apa Pun Pasti Jadi Ciut
Misalnya saja, saat ditanya apa yang dikonfirmasi penyidik kepadanya. “Sama seperti yang dulu, sama,” jawabnya, singkat. “Soal transaksi?” cecar wartawan. “Iya, iya,” ucap Nurhadi sambil terus berjalan menuju ke luar Gedung KPK. Sebelum naik mobil yang menunggunya di pinggir jalan Gedung KPK. Nurhadi menegaskan dia tidak pernah bertemu Eddy Sindoro. “Sama sekali nggak ada. Tanya penyidik ajalah,” tutupnya dengan nada agak ketus.
Untuk diketahui, dugaan keterlibatan Nurhadi dalam kasus ini mencuat setelah KPK menggeledah rumahnya pada 21 April 2016. Penggeledahan dilakukan berselang beberapa jam setelah operasi tangkap tangan terhadap Panitera Sekretaris PN Jakarta Pusat Edy Nasution, dan perantara suap Doddy Aryanto Supeno. KPK menyita duit suap Rp 50 juta dalam operasi itu, yang diduga bertujuan mengatur peninjauan kembali (PK) perkara perdata di Mahkamah Agung.
Setelah penangkapan, KPK menggeledah empat lokasi, termasuk rumah dan kantor Nurhadi. Dari rumahnya KPK menyita duit Rp 1,7 miliar dalam bentuk dolar Singapura, dolar Amerika, euro dan riyal. Duit diduga berkaitan dengan pengurusan perkara perdata yang diajukan ke MA. KPK juga telah memeriksa Nurhadi beberapa kali dalam proses penyidikan Edy Nasution. Jejak Nurhadi dalam kasus ini juga terlihat dari kasasi Edy Nasution.
Baca juga : Digendong Prabowo, Anak Kecil Menangis
Dalam putusan itu, Eddy Sindoro disebut kerap berhubungan dengan Nurhadi, dalam pengurusan perkara yang dihadapi Lippo Group. Eddy Sindoro ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap mantan Panitera PN Jakpus, Edy Nasution, pada akhir 2016. Namun, beberapa bulan sebelum ditetapkan sebagai tersangka, April 2016, Eddy sudah berada di luar negeri. Padahal, pada bulan itu juga, dia sudah dicekal. Eddy tiga kali mangkir dari panggilan KPK sebagai saksi, yakni 1 Agustus, 20 Mei, dan 24 Mei 2016, sampai akhirnya ditetapkan tersangka.
Dua tahun menghilang, dia kerap pindah-pindah negara, mulai dari Malaysia, Singapura, Thailand, hingga Myanmar. Akhirnya Eddy menyerahkan diri ke KPK pada Jumat, 12 Oktober lalu. Tak lama setelah pengacaranya, Lucas, ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan KPK lantaran disebut merintangi penyidikan kasus ini. Eddy, disebut KPK mengarahkan anak buahnya memberikan sejumlah uang kepada Edy Nasution. Tujuannya, mengurus berbagai perkara hukum anak-anak perusahaan, pada peradilan tingkat pertama hingga tingkat kasasi di MA..
Peran Eddy terkuak setelah KPK melakukan pengembangan OTT terhadap Edy Nasution dan Doddy Ariyanto Supeno, asisten Eddy. Keduanya diringkus di areal parkir sebuah hotel di Jakarta Pusat, pada April 2016, setelah terjadi transaksi suap. Saat itu, tim KPK hanya menyita Rp 50 juta. Uang itu, sebut KPK, untuk pengurusan PK PT Across Asia Limited (AAL). Berdasarkan putusan kasasi MA per 31 Juli 2013, PT AAL dinyatakan pailit. Atas putusan kasasi tersebut, hingga batas waktu 180 hari, PT AAL tidak melakukan upaya PK. Namun, untuk menjaga kredibilitas PT AAL yang sedang ada perkara di Hong Kong, Eddy pada pertengahan Februari 2016, diduga memberikan perintah pengajuan PK meski waktunya sudah lewat.
Baca juga : Dokter Bimanesh Dihukum Jadi 4 Tahun Penjara
Dalam persidangan terkuak, Edy Nasution menerima uang suap lebih dari itu. Selain Rp 50 juta, dia disebut menerima 50 ribu dolar AS dan Rp 100 juta.
Edy Nasution divonis 5,5 tahun penjara dan denda Rp 150 juta subsider dua bulan kurungan. Sementara Doddy, divonis empat tahun penjara dan denda Rp 150 juta subsider tiga bulan kurungan. [OKT]
Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News
Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.