Dark/Light Mode

Hindari Hoaks, Pakar Medsos: Bangun Budaya Tabayyun

Rabu, 17 Mei 2023 20:36 WIB
Konsultan komunikasi dan pakar media sosial Rulli Nasrullah (Foto: Istimewa)
Konsultan komunikasi dan pakar media sosial Rulli Nasrullah (Foto: Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Memasuki tahun politik, masyarakat dihadapkan pada maraknya informasi dengan berbagai narasi, seperti hoaks, ujaran kebencian (hate speech), propaganda, opini untuk menciptakan ketidakpercayaan publik, mengadu domba, dan memecah belah persatuan. Untuk mengatasi hal itu, masyarakat diimbau membangun budaya tabayyun dan saring sebelum sharing.

Konsultan komunikasi dan pakar media sosial Rulli Nasrullah mengungkapkan, hoaks, misinformasi, disinformasi akan muncul di tahun politik ini. Informasi tersebut kerap sengaja diproduksi untuk membangun character assassination atau pembunuhan karakter terhadap seseorang maupun kelompok. 

“Hal ini terjadi karena orang atau kelompok tersebut tidak percaya diri dengan kemampuannya untuk bersaing secara sehat,” ujar Kang Arul, sapaan Rulli Nasrullah, di Jakarta, Jumat (12/5).

Kang Arul mengatakan konten tersebut dengan sengaja ‘dimakan’ dan disebarluarkan buzzer dan influencer dengan memiliki semangat yang sama untuk menjatuhkan. Bagi penerima pesan, hal ini menjadi catatan tersendiri untuk membangun ketahanan agar tidak mudah terkena maupun menyebarkan hoaks. 

Menurut Kang Arul, persoalan hoaks itu menyasar ke emosi seseorang. Misalnya, konten terkait agama, suku, ras, agama, dan budaya. Penulis buku Teori dan Riset Media Siber (Cybermedia) ini berpendapat, ada tiga alasan kenapa hoaks itu bisa berkembang.

Baca juga : Lestari Ingin Semua Pihak Pastikan Arus Mudik Aman Dan Nyaman

Pertama, banyak pengguna media sosial berpikir memakai logika waktu cepat. "Logika waktu cepat itu adalah informasi yang dipublikasikan itu main ditelan saja, tanpa melakukan konfirmasi, tanpa melakukan check and recheck terhadap media-media mainstream,” ucap Kang Arul.

Kedua, friendvertaising, iklan, atau informasi yang disampaikan teman. Kang Arul mengatakan, terkadang relasi ini membuat masyarakat percaya terhadap seseorang, sehingga mudah untuk menerima dan menyebarkan informasi yang belum tentu benar. 

“Apalagi sahabat ternyata nge-share ke kita, masak hal-hal yang hoaks, gitu? Jadi, nggak mungkinlah teman-teman itu ngirimin hoaks segala macam,” kata Kang Arul. 

Ketiga, kondisi psikologis yang tidak sadar. Hal ini terjadi karena lingkungan, circle pertemanan, dan yang dibaca adalah konten yang serupa. Sehingga secara naluri, orang itu tidak punya pilihan selain mempercayai hal-hal-hal tersebut. Apalagi ketika yang bersangkutan memiliki afiliasi yang berbeda, sehingga semakin membuat untuk membenci atau tidak senang. 

“Karena temennya ngomong seperti itu, terus dia buka akun yang lain (lingkungannya) juga nge-share juga seperti itu. Kemudian setiap hari dia juga mengakses informasi yang sama,” ucap Kang Arul.

Baca juga : Mak Ganjar Ajak Warga Banten Budi Daya Tanaman Sayur

Kang Arul menambakan, ketika berhadapan dengan sebuah berita, masyarakat harus punya waktu cukup untuk mencerna berita tersebut. Artinya, ketika berita atau informasi diterima, tidak bisa serta merta langsung menerima. Tapi, harus memastikan dulu bahwa ini sumbernya dari mana. Apakah dari media ecek-ecek, atau dari media mainstream. Kemudian, masyarakat harus membaca penuh isi konten, jangan hanya membaca judulnya. 

“Netizen itu sudah semestinya membaca secara penuh. Karena persoalannya ada banyak yang terjadi itu hanya termakan oleh clickbait, dari judul, dari paragraf pertama, dan dia males baca sampai akhir. Itu yang membuat persepsi itu menjadi yang sangat luar biasa, menjadi penyebaran efek domino,” terangnya.

Membangun Budaya Tabayyun

Dengan beragam informasi yang diperoleh di tahun politik ini, sejatinya masyarakat dapat melakukan tabayun sebelum men-share atau bertindak lebih jauh. Dalam buku Akidah Ahklak yang terbitkan Kementerian Agama, dijelaskan tabayyun memiliki arti mencari kejelasan hingga terang benderang. 

Menurut Kang Arul, membangun budaya tabayyun dapat dimulai dari diri sendiri. Setiap individu bisa memfilterisasi siapa teman kita di media sosial. Dengan begitu, setiap orang bisa menciptakan pertemanan yang dapat meminimalisir ujaran kebencian maupun hoaks di sekitarnya.

“Ketika teman-teman saya sudah ngomongin politik, sudah bahasanya kasar, saya langsung mematikan notifikasi status-status dia di media sosial. Ada beberapa yang saya langsung unfriend. Kenapa? Karena dimulai dari situ, kita memilih siapa teman kita,” ucap Doktor lulusan Universitas Gajah Mada ini. “Matikan saja notifikasinya, jangan muncul di wall kita, itu jauh lebih aman. Karena itu tadi kriteria yang ketiga, bermain tidak sadar, ketika kita dalam kondisi emosinya tidak bagus,” tambah Arul. 

Baca juga : Ini Dia, Daftar Sekolah Kedinasan Yang Lulusannya Langsung Jadi CPNS

Selain itu, Kang Arul juga menegaskan pentingnya kesadaran diri untuk meningkatkan literasi dan verifikasi melalui berbagai informasi dan platform yang tersedia seperti kanal cek fakta dan lainnya. Dengan begitu, seseorang akan memiliki kehatihatian dalam menerima atau meneruskan informasi.

Dalam perspektif agama, Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini juga mengungkapkan pentingnya bertabayyun dalam agama, yang tercantum dalam Al-Quran, Surat Al Hujurat ayat 6. 

“Ketika datang informasi kepada dirimu, maka harus bertabayyun, mengecek gitu lah. Cek nih siapa yang menginformasikan, siapa ini asalnya dari mana, isinya apa. Jadi, jangan buru-buru ditelan,” tutup Kang Arul.■

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.