Dark/Light Mode

Pengamat: Putusan MK Ambivalen, Tidak Konsisten Sebagai Penjaga Konstitusi

Selasa, 17 Oktober 2023 19:06 WIB
Pengamat hukum Agus Widjajanto (kanan)/Ist
Pengamat hukum Agus Widjajanto (kanan)/Ist

RM.id  Rakyat Merdeka - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan kepala daerah pernah atau sedang menduduki jabatan meskipun berusia di bawah 40 tahun bisa mencalonkan diri sebagai presiden/wakil presiden mendapatkan reaksi beragam dari berbagai pihak. Putusan MK juga menimbulkan pro dan kontra di masyarakat.

"Saya melihat putusan MK ambivalen, ada ketidakkonsistenan pada diri MK sebagai penjaga konstitusi dan demokrasi," terang pengamat hukum dan pemerhati Polsosbud Agus Widjajanto Selasa (17/10/2023).

Pada Senin 16 Oktober 2023, MK mengeluarkan putusan empat uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pemilu, utamanya terkait Pasal 169 huruf q UU Pemilu. 

Dari empat permohonan tersebut, tiga gugatan masing-masing Nomor 29/PUU-XXI/2023 (PSI), Nomor 51/PUU-XXI/2023 (Partai Garuda) dan Nomor 55/PUU-XXI/2023 (Walkot Bukittinggi dkk) dinyatakan ditolak. 

Sementara satu permohonan terakhir, yakni Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan mahasiswa Universitas Surakarta (UNS) Almas Tsaqibbirru dikabulkan sebagian oleh MK.

Baca juga : Hormati Putusan MK, Ketum Hipmi: Angin Segar Bagi Generasi Muda

Almas Tsaqibbirru merupakan mahasiswa Fakultas Hukum UNS angkatan 2019 dan putra dari Koordinator MAKI Boyamin Saiman.

Agus Widjajanto mengungkapkan, jika dibandingkan putusan terhadap batas minimal usia calon presiden - calon wakil presiden dengan putusan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20 persen, ada ketidakkonsistenan MK. Padahal, kedua gugatan tersebut muaranya adalah sama-sama menegakkan demokrasi yang dianut Indonesia.

"Gugatan presidential threshold (PT) atau ambang batas pencalonan presiden yang digugat beberapa pihak agar bisa nol persen, bukan 20 persen, bukankah ditolak MK? Padahal tujuannya juga sama, agar dapat tersalur demokrasi tanpa adanya batasan," jelas Agus. 

Pria asal Kudus Jawa Tengah itu lantas menyoroti Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 91/PUU-XXI/2023 yang dilayangkan oleh satu Pemohon yakni Almas Tsaqibbirru. Gugatan yang dilayangkan ke MK pernah dicabut oleh kuasa hukumnya pada Jumat 29 September 2023. Akan tetapi berselang sehari, yakni Sabtu, 30 September 2023, Pemohon membatalkan pencabutan kedua perkara a quo itu.

"Kalau benar yang dikatakan Hakim Konstitusi Arief Hidayat, bahwa gugatan sudah (pernah) dicabut tapi kemudian dianulir, serta pihak penggugat tidak mempunyai kepentingan seperti yang dikatakan Hakim Konstitusi Soehartoyo, hingga terjadi Desenting opinin, maka sungguh preseden buruk bagi MK sebagai Penjaga Demokrasi dan Penjaga Kontitusi," ungkap Agus.

Baca juga : Putusan MK Dinilai Kemenangan Kepemimpinan Muda Berprestasi

Pasalnya, aturan main dalam hukum acara yang sudah jadi pedoman sepanjang syarat formal tidak terpenuhi, maka secara materi tidak lagi dibahas apalagi dikabulkan.

Agus menegaskan, yang diuji dalam gugatan MK adalah tentang batas paling rendah adalah 40 tahun. Kemudian, sesuai petitum yang diajukan Pemohon Almas dengan meminta ditambahkan frasa 'berpengalaman sebagai kepala daerah', akan menimbulkan bias penafsiran dalam sebuah Undang-Undang.  

"Karena di dalam Undang-Undang tidak ada tentang persyaratan pengalaman menjadi penyelenggara negara atau pengalaman kepala daerah," urainya.

Terakhir, Agus mencontohkan Prancis dalam Pemilihan Presiden 2022, Emmanuel Macron terpilih Presiden terrmuda pada usia 39 tahun. Namun, terkait Emmanuel Macron ini bukan menyangkut usia muda atau tua, meski diyakini ketokohan Macron dalam usia muda menjadi Presiden bisa menjadi inspirasi bagi generasi muda di Indonesia.

Akan tetapi dalam konteks menyangkut UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilu yang mensyarakan batas minimal usia calon presiden dan wakilnya, sepatutnya pertimbangan hukum dalam uji materi di MK harus komprehensif. 

Baca juga : Pengamat: PHR Konsisten Terapkan GCG

Bukan kemudian memunculkan kesan adanya kepentingan politik. Misal terkait momentumnya yang kurang pas jelang Pilpres 2024 yang pendaftarannya tinggal sepekan lagi.

"Apalagi memakai frasa pernah menjabat kepala daerah bupati/wali kota/Gubernur, harusnya pertimbangannya untuk semua warga negara, yang sama kedudukannya di dalam hukum sesuai diatur kontitusi tertulis kita," pungkas Agus.

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.