Dark/Light Mode

Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
Anies & Muhaimin
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
Prabowo & Gibran
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
Ganjar & Mahfud
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU

Saran Prof Indriyanto, Permohonan PK KPK Sebaiknya Memperhatikan KUHAP

Jumat, 7 Februari 2020 21:25 WIB
Prof Indriyanto Seno Adji (Foto: Istimewa)
Prof Indriyanto Seno Adji (Foto: Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Pakar hukum Universitas Indonesia, Prof Indriyanto Seno Adji, mengomentari langkah KPK yang mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas vonis bebas yang diterima terdakwa kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Syafruddin Arsyad Temenggung. Indriyanto menyatakan, KPK sewajarnya memperhatikan legitimasi subyek pemohon PK yang limitatif, yaitu pada terpidana dan ahli waris.      

"(PK) bukan hak dari penegak hukum, walaupun yurisprudensi tidak konstan peradilan pernah memberikan tempat penegak hukum sebagai subyek pemohon PK," jelas Indriyanto, Jumat (7/2).      

Baca juga : Indriyanto: Kehadiran Hasto ke KPK Bentuk Penghormatan PDIP pada Hukum

Mantan Pimpinan KPK ini kemudian menjelaskan sejarah PK. Di sistem hukum pidana Perancis, pada prinsipnya PK (revition) digunakan sebagai basis perlindungan hak asasi manusia, khususnya rakyat yang mendapat perlakuan kesewenangan hukum dari kekuasaan. Intinya, PK ini hanya diberikan haknya ke masyarakat yang jadi korban kesewenangan dr kekuasaan. "Jadi, PK bukan diberikan kepada negara, dalam hal ini penegak hukum," terangnya.        

Dalam pemahaman sistem hukum pidana Indonesia, lanjutnya, KUHAP juga hanya memberikan hak untuk mengajukan PK terbatas pada terpidana dan ahli waris dari terpidana. Dengan demikian, negara, dalam hal ini jaksa, tidak diberikan legitimasi dan peluang untuk mengajukan PK.      

Baca juga : Emas Biru dan Emas Hijau untuk Pemulihan Ekonomi Korban Gempa Ambon

"KUHAP secara tegas dan jelas memberikan basis subjek PK terbatas tersebut," ucap mantan Pansel Capim KPK ini.           

Indriyanto kemudian mengupas aturan yang ada dalam Pasal 263 ayat (3) KUHAP yang mengatur soal PK. "Apakah rumusan norma yang terdapat dalam ketentuan Pasal 263 KUHAP ayat (3) sudah clear tegas jelas atau belum. Dalam arti kata, apakah ketentuan a quo secara eksplisit verbis memberikan hak kepada Jaksa (KPK) untuk mengajukan PK," ucapnya.          

Baca juga : UU KPK Baru: Pimpinan KPK Tetap Penyidik-Penuntut Umum

Hal ini, kata Indriyanto, menjadi pertanyakan. Karena dalam ilmu hukum dan ilmu perundang-undangan, terdapat asas hukum yang bersifat universal yaitu interpretatio cessat in claris. Asas ini bermakna bahwa: kalau teks atau redaksi suatu undang-undang telah jelas, maka tidak diperkenankan lagi menafsirkannya.      

"Karena penafsiran terhadap kata-kata yang telah jelas, berarti penghancuran, suatu interpretatio est perversio. Selain itu, dapat menimbulkan ketidak pastian hukum. KUHAP tegas jelas tidak memberi tempat dan hak bagi negara untuk mengajukan PK. Jadi, dalam melakukan upaya hukum, sebaiknya KPK menjaga prinsip kehati-hatian untuk menjaga kepastian hukum," tutupnya. [USU]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.