Dark/Light Mode

Prof. Indriyanto Seno Adji

Tak Perlu Curiga, Revisi UU KPK Terapkan Restorative Justice

Sabtu, 7 September 2019 11:44 WIB
Prof. Indriyanto Semo Adji (Foto: Istimewa)
Prof. Indriyanto Semo Adji (Foto: Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Pro kontra tentang Revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus bergulir. Kamis (5/9) lalu, Rapat Paripurna DPR telah menyepakati pembahasan revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Sementara Ketua KPK Agus Rahardjo, menolak. Agus meminta Presiden Jokowi melakukan pembahasan bersama akademisi, masyarakat dan lembaga untuk memutuskan perlu tidaknya merevisi UU KPK.

Terkait hal ini, Wakil Ketua Panitia Seleksi Indriyanto Seno Adji mengungkapkan pandangannya soal revisi UU KPK. Menurutnya, polemik Revisi UU KPK hanyalah soal metode pendekatan saja.

Baca juga : Tolak Capim Bermasalah dan Revisi UU KPK, Pegawai Komisi Antirasuah Bikin Rantai Manusia

"Revisi harus dipahami dari sisi restorative justice, ataukah deterrent effect (efek jera)," ujar Indriyanto dalam keterangan tertulis yang diterima RMco.id, Sabtu (7/9).

Indriyanto memahami, pelaksanaan UU KPK setelah 17 tahun berjalan, memerlukan evaluasi dengan basis penguatan filosofi arah dan tujuan UU. Yaitu rehabilitasi dengan basis pencegahan.

Ia mengatakan, inisiatif DPR atas UU KPK ini memiliki pendekatan filosofi keadilan restoratif, yang menghendaki adanya suatu rehabilitasi sistem pemidanaan. Tidak semata-mata deterrent effect (efek jera).

Baca juga : Tolak Revisi UU KPK, Agus Rahardjo Bakal Surati Presiden

"Dari perjalanan kasus-kasus korupsi, pola dan cara penindakan dengan efek jera, tidak memberikan manfaaat pengembalian optimal keuangan negara. Karena itu, filosofi pencegahan dengan rehabilitasinya menjadi basis utama," jelas Indriyanto.

Terlepas setuju tidaknya, 6 titik evaluasi UU KPK sebagai mixed methods, merupakan gabungan atas evaluasi pola pencegahan dan penindakan. Hal ini merupakan sesuatu yang wajar dan baik untuk ke depan.

Salah satu evaluasi pasal, misalnya tentang Dewan Pengawas adalah sesuatu yang wajar. Karena di negara demokratis, bentuk auxiliary state body seperti KPK (yang super body), mempersyaratkan adanya badan pengawas yang independen seperti Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisal (KY), Kepolisian dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), serta Kejaksaan dan Komisi Kejaksaan (Komjak).

Baca juga : Delik Penghinaan terhadap Presiden Hindari Politisasi Hukum

"Soal penghentian penyidikan, yang bertujuan memenuhi asas kepastian hukum dan keadilan, juga bisa diterapkan dalam kondisi yang limitatif dan bersifat eksepsional. Misalnya, seseorang ditetapkan menjadi tersangka pada saat proses penyidikan. Kemudian, dia menderita sakit yg secara medis dinyatakan unfit to stand trial sec permanen (tidak layak diajukan ke pengadilan). Maka, orang tersebut harus dihentikan penyidikannya," papar Indriyanto.

Keberatan dari masyarakat sipil anti korupsi dan pengamat, muncul karena persepsi dan pola pendekatannya yang berbeda. Masih dengan pendekatan efek jera. Terkait hal ini, Indriyanto mengapresiasi Mixed Methods DPR, yang tidak menghilangkan pola penindakan KPK. Hal itu dinilainya wajar dan prospektif.

"Tidak perlu khawatir dan curiga. Ada mekanisme hukum untuk mencurahkan ketidaksetujuan itu, melalui otoritas yudikatif. Tidak perlu mengambil jalan prosesual eksekutif, yang tidak menjadi otoritas atas inisiatif revisi UU ini," pungkasnya. [HES]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.