Dark/Light Mode

9/9/2020, Jakob “Jurnalisme Makna” Oetama Pergi Meninggalkan Kita

Rabu, 9 September 2020 17:02 WIB
Jakob Oetama. [Foto: RADITYA HELABUMI/KOMPAS]
Jakob Oetama. [Foto: RADITYA HELABUMI/KOMPAS]

RM.id  Rakyat Merdeka - Kabar duka kembali menerpa Tanah Air. Salah satu tokoh pers Indonesia, Jakob Oetama (88 tahun), tutup usia hari ini, Rabu (9/9/2020) di Rumah Sakit Mitra Keluarga, Kelapa Gading, Jakarta Utara, pukul 13.05 WIB.

Di dunia jurnalistik nasional, nama Jakob tak bisa dipisahkan. Tak sekadar wartawan, pria yang lahir pada 27 September 1931 di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah ini kemudian juga dikenal sebagai salah satu pendiri Surat Kabar Kompas. Dia juga kemudian pernah menjabat sebagai Presiden Direktur Kelompok Kompas-Gramedia, Pembina Pengurus Pusat Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan Penasihat Konfederasi Wartawan ASEAN.

Atas kiprah pentingnya di dunia jurnalistik Indonesia, oleh dunia akademik, Jacob bahkan dianugerahi gelar Doktor Honoris Causa di bidang Komunikasi oleh Universitas Gajah Mada (UGM) pada 2003 dan dari Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta pada 2014.

Namun jauh sebelum itu, pada 1973, Jacob malah juga sudah dianugerahi penghargaan Bintang Mahaputra Utama oleh pemerintah Indonesia.

Pemilik nama lahir Jakobus Oetama ini, awalnya bercita-cita menjadi seorang pastor. Tapi niatnya itu tidak terwujud. Setelah menamatkan pendidikan dasar di Yogyakarta, kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas Seminari di Yogyakarta (1951), awalnya, dia sempat bekerja sebagai guru di SMP Mardiyuwana (Cipanas, Jawa Barat). Lalu pindah ke SMP Van Lith di Jakarta.

Di Jakarta, kemudian dia juga bekerja sebagai redaktur Mingguan Penabur Jakarta, sebelum melanjutkan pendidikan kembali di Sekolah Guru Jurusan B-1 Ilmu Sejarah hingga 1956. Jakob kemudian melanjutkan ke Perguruan Tinggi Publisistik, Jakarta (1959) dan lulus dari Jurusan Publisistik Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gajah Mada pada 1961.

Jakob sejatinya sudah memulai karier di dunia jurnalistik saat menjadi redaktur Mingguan Penabur pada 1956, dilanjutkan dengan mendirikan majalah Intisari pada 1963. Dalam membangun majalah Intisari, dia dibantu seorang temannya, Petrus Kanisius (PK) Ojong. Selain memiliki kesamaan profesi, yaitu sama-sama pernah berprofesi sebagai guru, Ojong dan Jakob ternyata juga memiliki minat besar terhadap dunia pers dan sejarah.

Baca juga : Jasa Marga Catat 367.703 Kendaraan Tinggalkan Jakarta

Dari kesamaan minat inilah yang akhirnya menjadi cikal kerjasama Jakob dan Ojong membuat sebuah barang baru berbentuk majalah. Akhirnya majalah tersebut diberi nama majalah Intisari.

Ide membuat majalah ini sebenarnya berasal dari majalah Reader's Digest Amerika yang memuat banyak berita penting seputar Amerika. Majalah Intisari buatan mereka memiliki karakteristik sendiri dengan memakai tema berupa ilmu pengetahuan dan perkembangan teknologi.

Majalah ini terbit secara resmi pertama kali pada 17 Agustus 1963, terbit setiap bulan sekali. Bentuk fisik majalah ini seperti Star Weekly, yang warnanya masih berwarna hitam dan putih serta tanpa kulit muka alias telanjang. Majalah ini memiliki ukuran 14 X 17,5 cm dengan ketebalan buku sekitar 128 halaman. Majalah “Intisari” memiliki logo yang sama dengan logo rubrik senama yang ditulis Ojong di Star Weekly.

Saat pencetakan edisi pertama, majalah ini dicetak hanya 10.000 eksemplar. Penjualan majalah ini ternyata memiliki respon yang sangat baik karena tanpa diduga, majalah ini ternyata sangat laris manis. Semakin lama, isi dari konten-konten majalah Intisari semakin berkembang, dan semakin diperkuat oleh bantuan teman-teman Jakob dan Ojong yang berasal dari Yogyakarta seperti Swantoro, J. Adisubrata, Indra Gunawan dan Kurnia Munaba.

Mengacu pada Reader’s Digest, majalah Intisari terus berusaha menampilkan berita-berita bermutu, intelek dan kompeten yang nantinya diharapkan majalah ini mampu membawa pengaruh positif bagi dunia pengetahuan terutama di Indonesia.

Majalah Initisari termasuk majalah yang paling sukses penjualannya di Indonesia. Setelah dua tahun, pada 28 Juni 1965 para pengurus Yayasan Bentara Rakyat yang beranggotakan I.J. Kasimo yang saat itu menjabat sebagai Ketua, Frans Seda menjabat sebagai Wakil Ketua, F.C. Palaunsuka menjabat sebagai Penulis I, Jakob Oetama menjabat sebagai Penulis II, dan Auwjong Peng Koen menjabat sebagai bendahara bertemu Bung Karno. Akhirnya, Bung Karno mengusulkan nama “Kompas”. Para pengurus Yayasan Bentara Rakyat akhirnya menyepakati nama tersebut.

Surat kabar harian Kompas pun sangat menjunjung tinggi nilai-nilai independen sumber berita yang digali secara mandiri dan selalu mengutamakan kecermatan di bidang profesi dan moral pemberitaan. Pembentukan Kompas ini terjadi pada 1965, saat Indonesia sedang dihantui bayang-bayang ancaman gerakan pemberontakan 30 September.

Baca juga : El Real Berduka, Mantan Presidennya Meninggal Akibat Corona

Jakob Oetama memiliki prinsip, “Miliki dulu harga diri. Tanpa itu, kita akan menjadi robot”.

Dulu, Kompas merupakan surat kabar yang sering diejek dan dihina, namun Kompas tetap tampil dengan gaya penulisan yang kalem. Padahal dunia pers saat itu didominasi suara-suara yang lebih garang.

Walau oplahnya kecil dan selalu datang terlambat, Jakob terus konsisten dan selalu membangun jurnalisme objektif dan netral. Semua hal ini tercipta berkat kepercayaan pembacanya. Kompas menjadi koran pertama yang menjaga netralitas, selalu menyajikan fakta yang aktual, jernih serta konsisten selama 4 dasawarsa.

Dari sini, mulailah berdiri kelompok usaha ‘Kompas Gramedia’. Nama Gramedia dipilih untuk nantinya digunakan sebagai member label pada usaha toko buku. Tim Gramedia yang bertanggung jawab atas proses produksi dan pencetakan surat kabar harian Kompas. Pada ulang tahun harian Kompas yang ke-30, harian ini tercatat memiliki oplah sekitar 460 ribu, yang membawa namanya menjadi harian dengan oplah tertinggi di Indonesia.

Tingginya jumlah oplah ini sempat memunculkan sejumlah kekhawatiran karena bisa memunculkan monopoli opini masyarakat. Mendengar ini, Jakob membantahnya dengan berkata ”Monopoli itu tidak benar, karena koran itu tidak hanya Kompas, Sinar Harapan, dan Tempo”.

Pendapatan terbesar Kompas didapat dari iklan. Pada awal 1985, surat kabar ini mampu meraih pemasukan sebanyak Rp 1,5 milyar perbulan dari iklan. Andai tidak ada pembatasan jumlah halaman, bukan tidak mungkin Kompas meraih lebih banyak lagi pendapatan.

Saat ini, Kompas Gramedia Group sudah melebarkan sayapnya dengan telah memiliki beberapa anak perusahaan atau bisnis unit yang beragam, mulai dari media massa, toko buku, percetakan, radio, hotel, lembaga pendidikan, event organizer, stasiun TV bahkan universitas.

Baca juga : Journalist Masterclass, Program Literasi Keuangan Prudential

Keinginan Kompas Gramedia untuk berkembang tidak berhenti sampai di situ. Jakob Oetama lalu ikut mendirikan Jakarta Post, harian nasional Indonesia berbahasa Inggris. Surat kabar ini muncul berkat kerja saama Jusuf Wanandi, Muhammad Chudori, Eric Samola, Fikri Jufri, Goenawan Mohamad, H. G. Rorimpandey dan Harmoko.

Jakob Oetama merupakan salah satu sosok yang sangat menginspirasi perkembangan jurnalistik dan pers Indonesia. Dia juga merupakan pemilik beberapa media di Indonesia, seperti Stasiun Televisi RCTI pada 24 Agustus 1989 di Jakarta yang bekerja sama dengan Kompas Gramedia. Stasiun Televisi SCTV pada 24 Agustus 1990 di Surabaya yang bekerjasama dengan Femina Group.

Juga, Stasiun Televisi TPI pada 23 Januari 1991 di Jakarta yang bekerjasama dengan Tempo Media Group , Stasiun Televisi ANTV pada 1 Januari 1993 di Lampung yang bekerjasama dengan Bakrie Group dan Stasiun Televisi INDOSIAR pada 11 Januari 1995 di Jakarta yang bekerjasama dengan Media Group.

Selain memiliki media, Jacob juga sudah menelurkan sejumlah karya tulis antara lain, Kedudukan dan Fungsi Pers dalam Sistem Demokrasi Terpimpin yang merupakan skripsi di Fisipol UGM 1962, Dunia Usaha dan Etika Bisnis yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas pada 2001, Berpikir Ulang tentang Keindonesiaan yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas pada 2002 dan Bersyukur dan Menggugat Diri yang diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas pada 2009.

Jakob menyebut gaya jurnalismenya dengan ''jurnalisme makna”. Dengan gaya ‘jurnalisme makna’, dia bersama Harian Kompas-nya dianggap konsisten berusaha menyadarkan hati nurani para pembaca, tentang perlunya bangsa ini menghapuskan nilai-nilai primordial dalam hubungan antar manusia dan antar kelompok, menanamkan etika dan moral demokrasi serta keadilan dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. [RUS]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.