Dark/Light Mode
- Muhammadiyah Idul Fitri 31 Maret 2025, Tahun Depan Beralih Dari Hisab Ke KHGT
- Kemenag Resmikan Program Beasiswa Zakat, Dorong Mustahik Lebih Berdaya
- Penerbangan Di Bandara Heathrow Inggris Sudah Mulai Pulih
- Legenda Tinju Dunia Big George Meninggal Dalam Usia 76 Tahun
- Siapkan 30 Ribu Rumah Nakes, Menteri PKP Rajin Tebar Rumah Subsidi

RM.id Rakyat Merdeka - Saat banjir menerjang beberapa kota di Indonesia, muncul beragam fakta dan narasi menarik yang bisa dibaca secara sosio-psikologis, terutama menyangkut respons atas peristiwa tersebut. Respons dari para pemangku kepentingan mencerminkan pada apa yang sebenarnya terjadi pada hal-hal yang abstrak, yakni state of mind mereka sendiri.
Jika melihat bagaimana mereka merespons peristiwa (banjir) itu, misalnya, menunjukkan, bahwa tata kelola banyak kota di Indonesia mengalami apa yang dalam istilah psikologi sebagai delusi. Perdefinisi, delusi adalah agregasi keyakinan yang hadir dalam diri seseorang atas suatu fakta yang tidak ada, meskipun kemudian ketiadaan fakta itu telah dibuktikan. Misalnya, seseorang yang mengalami delusi, meyakini bahwa dia sedang diikuti seseorang, meski berbagai bukti ditunjukkan bahwa keyakinan itu tidak ada atau salah.
Baca juga : Menunggu Aksi Kapolri Baru
Delusi kota merupakan terma yang dibangun untuk mencoba menggambarkan apa yang terjadi pada kota-kota kita saat ini. Baik ketika sedang mengalami musibah seperti bencana alam, atau ketika sedang dalam masa normal.
Delusi kota direpresentasikan pada ragam tindakan atau kebijakan yang diambil dan atau diputuskan oleh para penguasa dalam mengelola beragam permasalahan yang muncul di daerahnya. Entah karena alam pikiran yang meliputi semua narasi dan argumennya demikian, atau memang mereka mendapatkan fakta-fakta yang disajikan pun serupa dengan alam pikirannya, maka delusi semakin menjadi-jadi.
Contoh saja, ketika banjir tiba, dan faktanya memang terjadi secara kasat mata. Beberapa narasi yang berseliweran mencoba menangkal atau membenarkan fakta tersebut. Misanya, di sebuah daerah, ketinggian air pada level tertentu dikatakan genangan, sementara di tempat lain disebut sebagai banjir.
Baca juga : Bali Jadi Kota Mati
Dalam benak pembangun wacana, kedua entitas: genangan dan banjir merupakan fakta kebenaran yang mereka yakini. Sementara dari konteks publik yang melihat kedua peristiwa tersebut kemudian membuat parameter yang sama-sama, misalnya air yang terhambat masuk ke sungai dan air dan akhirnya menyebabkan kerugian banyak orang.
Banjir dan genangan besar, memiliki dampak yang sama: mengganggu kehidupan orang banyak. Lalu mengapa malah menjadi “ribut” pada aspek realitasnya, bukan pada persoalan input (penyebab) dan pelanggeng peristiwa, serta dampak akhir dari peristiwa tersebut.
Musibah dan kekurangcakapan para pengelola kota menjadi semakin memperkuat delusi kota karena mereka kemudian lebih fokus kepada pertarungan narasi, ketimbang aksi. Pertarungan narasi yang divisualisasikan dalam berbagai penampilan seperti kampanye, pencitraan, serta menyewa buzzer , menjadi semacam buku teks yang harus dilakukan. Sedangkan peristiwa aslinya justru kadang terabaikan.
Selanjutnya
Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News
Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.