Dark/Light Mode
BREAKINGNEWS

RM.id Rakyat Merdeka - Serangan teror ke Mabes Polri dilakukan seorang wanita berusia 26 tahun. Serangan bom Geraja Katedral Makassar juga dilakukan pasangan milenial yang masih berusia 26 tahun. Generasi muda ini merupakan sasaran utama perekrutan teroris.
Analis militer dan intelijen Susaningtyas Kertopati menyebut, para milenial ini merupakan korban dari penetrasi ideologi kekerasan global yang masuk ke Indonesia. “Milenial kebanyakan masih mencari jati diri dan mengikuti arah pihak yang paling berpengaruh,” ujarnya, dalam webinar bertajuk “The Indonesia Intelligence Institute”, Rabu (31/03).
Menurut Nuning, sapaan akrab Susaningtyas, pola rekruitmen saat ini berkembang menjadi lebih terbuka menggunakan ruang publik seperti sekolah, kampus, dan perkumpulan kegiatan kegiatan keagamaan. “Karena itu, pemerintah juga harus melibatkan milenial sebagai upaya melakukan pencegahan agar tidak ada perekrutan baru,” ujar doktor bidang komunikasi intelijen Universitas Padjadjaran (Unpad) tersebut.
Berita Terkait : Polisi Datangi Rumah Perempuan Penyerang Mabes Polri
Nuning menjelaskan, dalam menganalisa kejadian terorisme, harus holistik. Kejadian bom bunuh diri di Makassar dan penyerangan di Mabes Polri merupakan sinyal bahwa mereka ingin menunjukkan eksistensinya. “Oleh karena itu, harus dikenali embrio terorisme di Indonesia itu apa saja,” ujarnya, dalam diskusi yang juga disiarkan melalui Channel YouTube Ridlwan Djogja itu.
Selain melibatkan milenial, pemerintah juga diharapkan melibatkan tokoh-tokoh publik. “Rekruitmen terorisme selain dilakukan tertutup, juga ada ruang publik yang dipakai dalam proses penjaringan seperti di media sosial,” terang Nuning.
Yang juga perlu diwaspadai, lanjutnya, adalah proses Enabling Environment, yaitu menormalisasi hal yang tidak normal dirasa normal. "Ini tidak boleh disepelekan dan harus jadi perhatian serius semua kalangan," ujar wanita yang juga aktif sebagai aktivis sosial kemanusiaan ini.
Berita Terkait : Niko Elektronik Kenalkan Dua Variant Terbaru
Mantan anggota Komisi I DPR itu juga menjelaskan, militer dapat dilibatkan dalam penanganan terorisme. Penanganan terorisme di Indonesia selama ini cenderung masih dalam klasifikasi kejahatan terhadap publik sehingga cenderung ditangani Polri semata. Jika terorisme mengancam keselamatan Presiden atau pejabat negara lain sebagai simbol negara, terorisme tersebut menjadi kejahatan terhadap negara dan harus ditanggulangi oleh TNI.
Pembicara lainnya, Alto Labetubun menjelaskan, di Timur Tengah, kelompok teroris menggunakan berbagai platform teknologi untuk menjaga eksistensi organisasinya. “Walaupun secara wilayah ISIS tidak lagi menguasai Suriah, namun mereka masih punya sistem di dunia siber atau cyber daulah,” ujar analis keamanan yang hampir 20 tahun bertugas di Irak dan Suriah tersebut.
Alto berharap, aparat pemerintah lebih melibatkan berbagai potensi masyarakat untuk mencegah terorisme. “Banyak anak bangsa yang jago-jago, misalnya ahli hacking yang punya jiwa merah putih,” katanya.
Berita Terkait : Kementan Segera Wujudkan Unit Perbibitan Babi Bebas ASF
Pembicara ketiga, Stanislaus Riyanta menyoroti pendapat beberapa akun media sosial yang menyebut aksi terorisme di Makassar sebagai rekayasa. “Pendapat itu berbahaya dan provokatif. Aparat keamanan harus memeriksa provokator yang menyebut bom sebagai rekayasa,” ujar alumni S2 Kajian Intelijen Universitas Indonesia tersebut. [USU]
Tags :
Berita Lainnya