Dark/Light Mode

Asosiasi Ibu Menyusui: Dibutuhkan Regulasi BPA Inklusif

Jumat, 15 Oktober 2021 16:33 WIB
Simbol bebas BPA (Foto: Istimewa)
Simbol bebas BPA (Foto: Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Diskusi mengenai risiko bahaya Bisfenol A (BPA) terus mengelinding. Termasuk dalam dialog publik daring bertajuk 'Mendesain Regulasi BPA yang Tepat' yang digelar Centre for Public Policy Studies (CPPS), Rabu (12/10).

Ketua Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) Nia Umar menerangkan, isu mengenai risiko BPA sudah lama dibahas di beberapa negara Eropa. Namun, di Indonesia gaungnya belum terlalu luas.

“Dengan dialog ini kita berharap bisa mengangkat kesadaran masyarakat bahaya BPA bagi kesehatan, serta mengajak pemerintah mengatur regulasi ini,” kata Nia Umar.

Nia Umar membeberkan, banyak merek botol susu bayi mengandung BPA. Demikian juga gelas plastik, peralatan makan, dan lapisan sebagian besar kaleng dan kaleng makanan dan minuman.

Pemanasan berulang dari plastik polikarbonat dapat menyebabkan larutnya BPA ke dalam pangan. Bayi yang sudah diberi makan dapat menelan BPA dosis ganda, mulai botol susu sampai dari lapisan timah kaleng susu ke dalam susu bubuk yang dikonsumsi anak.

“BPA berbahaya ketika ada pemanasan berulang dari plastik. Jadi, memang BPA ini problematis karena ada di mana-mana. Di Eropa, barang mengandung BPA sudah jelas tidak boleh sama sekali. Tidak hanya di botol dot bayi, tetapi juga di wadah makanan,” katanya.

Nia Umar mengingatkan, BPA bisa menunjukkan sifat seperti hormon, dan bisa hadir di mana-mana pada lingkungan karena penggunaannya yang leluasa. Seperti juga dalam penggunaan kemasan air minum dalam kemasan.

Lalu, apa yang harus dilakukan masyarakat? Nia Umar memberikan tiga tips. Pertama, hindari BPA. Kedua, tidak mengkonsumsi makanan kalengan. Ketiga, tidak memanaskan plastik kemasan.

Nia juga berharap, Pemerintah bisa tegas dalam mengatur kemasan yang mengandung BPA. “Harus ada aturan yang tegas dan kampanye resmi yang ditayangkan di semua media yang berisi edukasi tentang BPA, dan BPOM perlu mengkaji ulang regulasinya,” tutup Nia.

Anggota Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Irfan Dzakir Nugroho mengatakan, saatnya Indonesia memiliki regulasi terkait BPA. Pasalnya, di Eropa beberapa negara sudah menerapkan regulasi BPA. Di antaranya, Uni Eropa dan Kanada melarang BPA dalam produk bayi, di Perancis melarang penggunaan BPA secara total, demikian pula European Food Safety Authority (EFSA).

Menurut Irfan, toksisitas BPA telah menjadi perhatian, terutama di negara-negara Eropa dan Amerika. Toksisitas BPA menimbulkan berbagai penyakit. “Efeknya sangat luas di berbagai kelompok. Sudah banyak studi yang membuktikan hal tersebut, dan untuk mencegahnya dibutuhkan regulasi preventif yang menjauhkan masyarakat dari bahaya BPA,” tambahnya.

Sementara, Ketua Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait berpendapat, dampak BPA harus diinformasikan kepada masyarakat, khususnya dampak bagi anak. Hal itu selaras dengan Konvensi PBB dan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, mengenai hak anak untuk sehat dan hak anak untuk hidup.

“Hak itu adalah hak yang sangat fundamental yang dimiliki anak. Apalagi tadi disebutkan hampir 50 persen anak-anak di Indonesia belum menikmati air susu ibu (ASI),” katanya.

Bagaimana memformulasi regulasi yang selaras dengan hak anak atas kesehatan dan hak anak untuk hidup yang harus dilakukan oleh regulator. “BPOM sebagai wakil Pemerintah memilki kewenangan untuk melindungi masyarakat. Kalau kita ingin mendesain regulasi BPA yang tepat, maka kita harus kembalikan ke pemerintah,” tegasnya. [KW]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.