Dark/Light Mode
BREAKINGNEWS
Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU
Hukuman Mati Jargon Politik Jaksa Agung, Pakar Ajari Asas Legalitas UU Tipikor
Jumat, 5 November 2021 09:31 WIB
RM.id Rakyat Merdeka - Wacana penerapan hukuman mati oleh Jaksa Agung ST Burhanuddin dinilai bukan opsi solutif dan efektif dalam penegakan hukum pemberantasan korupsi.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menyebut, wacana yang disampaikan Burhanuddin itu hanyalah sebuah jargon politik untuk mempertahankan eksistensinya. "Pengguliran wacana hukuman mati hanya jargon politik," ujar Kurnia, Jumat (5/11).
Kenala begitu? Soalnya, dia menilai, penegakan hukum yang dilakukan jajaran Kejaksaan Agung (Kejagung) belum optimal dan berkualitas.
Baca juga : Ini Klarifikasi Kejagung
"Padahal, kalau kita berkaca pada kualitas penegakan hukum yang mereka lakukan, hasilnya masih buruk. Jadi, apa yang diutarakan tidak sinkron dengan realita yang terjadi," tuturnya.
Salah satu yang jadi sorotan adalah rendahnya tuntutan hukuman terhadap eks jaksa Pinangki Sirna Malasari. Dari situ, masyarakat dapat mengukur bahwa Jaksa Agung saat ini tidak memiliki komitmen untuk memberantas korupsi.
"Khusus untuk Kejaksaan Agung, masyarakat tentu masih ingat bagaimana buruknya kualitas penegakan hukum di Korps Adhyaksa ketika menangani perkara yang melibatkan oknum internalnya, misalnya, Pinangki Sirna Malasari," imbuh Kurnia.
Baca juga : Wakil Jaksa Agung Minta Jajarannya Jaga Integritas
Belum lagi jika berbicara tentang lembaga kekuasaan kehakiman. Fenomena diskon untuk hukuman bagi para koruptor masih sering terjadi.
Kurnia mengatakan, dalam catatan ICW hukuman penjara masih berada pada titik terendah. Yakni rata-rata 3 tahun 1 bulan untuk tahun 2020. Sedangkan, pemulihan kerugian keuangan negara juga menjadi problematika klasik yang tak kunjung tuntas.
"Bayangkan, kerugian keuangan negara selama tahun 2020 mencapai Rp 56 triliun, tetapi uang penggantinya hanya Rp 19 triliun," keluhnya.
Baca juga : Wakil Jaksa Agung Bicara Soal Digitalisasi Kejaksaan
Persoalan wacana hukuman mati ini pun dikritisi Pakar Hukum Universitas Pelita Harapan (UPH) Rizky Karo Karo. Ia mengatakan, pidana mati dalam kasus korupsi bukan barang baru.
Hal itu sudah diatur dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ( UU Tipikor) masih berlaku (asas legalitas). Syaratnya, tindak pidana korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu.
"Jika melihat dari Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU P Tipikor, Yang dimaksud dengan 'keadaan tertentu' dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku," beber Rizky.
Selanjutnya
Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News
Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Tags :
Berita Lainnya