Dark/Light Mode

Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
Anies & Muhaimin
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
Prabowo & Gibran
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
Ganjar & Mahfud
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU

WAG di Pagi Buta

Jumat, 30 Agustus 2019 07:13 WIB
Ngopi - WAG di Pagi Buta
Catatan :
MELLANI EKA MAHAYANA

RM.id  Rakyat Merdeka - Pagi-pagi buta, What’s App Grup (WAG) tempat saya bergabung sudah aktif. Isinya mulai dari ajakan salat subuh hingga sapaan selamat pagi.

Ucapan itu bertabur doa-doa untuk kesuksesan hari-hari itu. Itu terus terjadi menghiasi hari-hari dalam setahun belakangan. Anggota hanya 20 orang.

“Assalamu’alaikum kakak keren, semoga sukses selalu, jangan lupa bahagia.” Bunyi salah satu sapaan. Kadang-kadang tak lupa menyapa langsung nama anggota WAG.

Selanjutnya, ada juga yang mengabarkan perjalanannya sejak pukul 5 pagi bertolak menuju tempat kerja. Ada juga yang memajang foto sedang makan ketan dan urap di salah satu warung pinggir jalan.

Baca juga : Mencari 5, Pasti Bisa

“Waktunya sarapan,” tulis yang lain. Wah tangguhnya. Saya salut dengan mereka. Sebagai respons, Saya hanya menuliskan, “Kerren kakak,” sambil mencantumkan simbol love sebagai tanda saya salut pada mereka.

Sedangkan saya. Sudah lupa rasa itu. Rasa office hour. 10 tahun lalu sepertinya. Hehehe. Ketika itu pengalaman awal-awal jadi wartawan liputan membelah kota Jabodetabek. Jadi jika komunitas mau ada kegiatan pukul 8? Sungkannya bukan main.

Beda dengan teman-teman di WAG. Mereka umumnya guru yang harus masuk pukul tujuh pagi. WAG tempat mereka berbagi kesibukan pagi yang saling mendoakan kebaikan. Apa itu menggangu saya? Tidak.

Tentu tidak. Pesan-pesan mereka menjadi penyemangat bagi saya yang harus berjuang untuk membuka mata. Mencoba memperbaiki jam tubuh seperti 10 tahun lalu.

Baca juga : Mau Jadi Sosialita?

Saat itu transportasi belum selancar sekarang. Jadi kalau bukan wartawan yang ngepos, pindah dari satu tem pat ke tempat lain. Kalau naik ojek memang lebih fleksibel tapi berat diongkos. Harganya suka-suka kang ojeknya.

Transportasi andalan, online, saat itu belum ada. Biasanya saya dapat dua lokasi da lam satu hari. Tidak bisa bawa motor. Jadinya naik angkutan umum.

Ya harus berangkat lebih pagi supaya bisa balik cepat ke kantor agar bisa bikin berita. Begitulah. Sampai di kantor muka kucel. Rebutan komputer pulak untuk membuat berita.

Sekarang komputer di kantor malah banyak yang kosong. Penuh debu. Kantor kurang menarik lagi. Wartawan bisa kirim berita lewat handphone. Internetan lancar.

Baca juga : Jadi Pejabat Siap Dihujat

Dulu mana bisa. Meski sudah ada, media online pada tahun 2000-an itu belum banyak. Belum tentu juga menemukan bahan yang dibutuhkan. Beda sekali di zaman sekarang.

Kalau malas liputan pagi tinggal ambil internet. Telepon satu atau dua sumber berita jadi. Tapi apa memang segitu saja kerja wartawan. Tidak. Buktinya salah seorang sumber dari suatu lembaga curhat. Kenapa beritanya ada sedangkan wartawannya tidak ada meliput acaranya.

Curhatnya itu yang membuka mata. Ternyata sang sumber tak hanya butuh beritanya masuk koran. Dia juga ingin mengenal rekan kerjanya yang dari media. ***

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Tags :