Dark/Light Mode
- Menkes: Kesehatan Salah Satu Modal Utama Capai Target Indonesia Emas 2045
- Jangan Sampai Kehabisan, Tiket Proliga Bisa Dibeli di PLN Mobile
- Temui Cak Imin, Prabowo Ingin Terus Bekerjasama Dengan PKB
- Jaga Rupiah, BI Naikkan Suku Bunga 25 Bps Jadi 6,25 Persen
- Buntut Pungli Rutan, KPK Pecat 66 Pegawainya
RM.id Rakyat Merdeka - Bukan. Judulnya bukan untuk menggambarkan diri saya. Dan nggak lagi nyindir orang lain juga. Itu cuma cara saya menggambarkan acara-acara yang kerap diputar di tivi. Persisnya, di salah satu stasiun tivi swasta di negara kita.
Yes. Sinema yang kental dengan nuansa reliji, dan ujung-ujungnya adalah pertobatan orang yang gemar berbuat tidak benar, sekarang ini bisa dibilang lagi mendapatkan tempat. Setidaknya, itu hasil survei di rumah saya dan rumah beberapa kerabat. Apalagi, bagi mereka yang sehari-hari lebih banyak beraktivitas dari rumah. Mulai pagi, siang, hingga menjelang malam, stasiun tivi itu selalu menyajikan sinema bertema demikian.
Saya sempat nonton. Satu dua kali. Tapi, itu dulu. Itu pun karena ikut-ikutan. Plus, karena ada tulisan kisah nyata di tiap tayangan. Saya agak tertarik dengan tayangan tivi atau film yang berdasar kisah nyata. Tapi, akhirnya bosenin juga. Ceritanya sama saja. Berbuat jahat. Akhirnya tobat. Kadang, saat si jahat belum sempat tobat, tapi keburu dijemput malaikat maut. Begitu terus.
Yang belum bosen, kelihatannya masih menikmatinya. Seperti ibu saya. Dan sesekali istri saya. Karena masih harus bekerja, istri saya memang cuma bisa nonton di akhir pekan. Tapi, waktu masih cuti melahirkan, sama kayak ibu saya. Tiap hari. Bahkan anak saya yang umur 2,5 tahun, sampai hafal nada salah satu lagu temanya. Walaupun cuma nada-nada akhir.
Iseng-iseng, saya nanya ke mereka berdua. Kok masih seneng nonton tayangan bertema seperti itu? Kan ceritanya hampir sama. Dari satu film ke film lainnya. Apa karena mengalaminya sendiri dalam kehidupan nyata?
Jawaban mereka kurang lebih sama. Karena ceritanya menarik diikuti. Malah kadang bisa ikut baper pas nonton. Tapi untunglah mereka nggak jawab 'iya'. Kalau jawabannya begitu, berarti saya juga sebenarnya harus instropeksi diri. "Aman," kata saya dalam hati.
Baca juga : Ngabuburit Malah Diburu Anjing...
Sebenarnya sih, nggak masalah mereka nonton itu seharian. Toh, pasti ada nilai positif yang bisa diambil. Setidaknya, nggak kayak tayangan sinetron yang cuma menujukkan hedonisme. Tapi, menurut saya, tetap ada yang menggelitik. Bukan sinema tobat atau jalan ceritanya. Tapi susunan acara di stasiun tivi itu.
Setelah dari pagi sampai jelang malam dicekoki acara-acara bertema tobat, malamnya disuguhi acara bertolak belakang. Yap, Dangdutan. Pagi, siang, sore tobat. Malam dangdutan. Nggak salah sih. Toh nggak ada yang vulgar atau gimana. Kalau ada, pasti sudah di-kartu kuning, atau kartu merah oleh komisi penyiaran.
Saya mikirnya lucu. Sekaligus penasaran dengan suasana hati penggemar setia acara-acara di stasiun tivi itu. Setelah sedih-sedihan, baper, atau kesal nonton acara tobat dari pagi sampai sore. Lalu malamnya langsung nyanyi-nyanyi, atau mungkin ada yang joget. Saya nggak nanya ibu dan istri saya. Karena mereka nggak nonton dangdutannya.
Baca juga : Cerita dari Vietnam
Paul Yoanda, Wartawan Rakyat Merdeka
Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News
Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.