Dark/Light Mode

Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
Anies & Muhaimin
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
Prabowo & Gibran
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
Ganjar & Mahfud
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU

Sedih Tapi Nggak Bisa Nangis

Senin, 5 April 2021 06:50 WIB
Ngopi - Sedih Tapi Nggak Bisa Nangis
Catatan :
Redaktur

RM.id  Rakyat Merdeka - Sedih, tapi nggak bisa nangis. Bahkan, setitik air mata pun nggak bisa jatuh. Kira-kira, begitulah perasaan saya waktu ditinggal mati si Unyil, anjing peliharaan saya, Minggu (21/3). Sudah 14 tahun si Unyil membuat rumah keluarga saya jadi lebih ramai dan aman.

Kalau dibilang baper, ya jelas. Gimana nggak, si Unyil mati di telapak tangan saya. Napas terakhir dihembuskan ke kulit saya. Baru kali itu saya benar-benar melihat kepergian mahkluk hidup. Waktu Bapak saya meninggal, 16 tahun lalu, saya nggak sempat lihat langsung beliau menghembuskan napas terakhir. Karena, Bapak dirawat di ICU. Sedangkan saya harus menjaga nenek di rumah.

Baca juga : Lucunya Piala Menpora

Balik lagi ke si Unyil. Sejak pertama kali datang ke rumah, kami sudah menganggapnya spesial. Kespesialan itu ditunjukin lagi di saat-saat terakhir dia mau pergi. Bahkan, bikin kami sekeluarga menganggapnya seperti saudara kami. Bukan lagi sahabat, apalagi peliharaan.

Jadi, pagi hari itu, si Unyil memang sudah kelihatan berbeda. Nggak mau makan, nggak mau main, dan nggak bisa beranjak dari tempatnya berdiam. Karena sudah beberapa kali begitu, kami biasa saja. Yakin, besok atau lusa bakal ceria lagi.

Baca juga : Sibuk Mainin Receh

Malamnya, saat kami pulang, kondisinya masih sama. Masih terdiam di teras rumah. Dekat dengan pintu samping. Lalu, kami kasih makan seperti biasa. Ternyata, masih didiamkan. Nggak dimakan. Karena masih berpikiran sama, akhirnya kami masuk ke rumah.

Tapi, tiba-tiba si Unyil bersuara. Seperti memanggil. Pelan. Tak seperti biasanya. Cempreng, melengking. Kami keluar lagi. Di situ, saya lihat dia makin lemas. Seperti sulit bernapas. Lama-lama, napasnya makin pendek.

Baca juga : Butuh Minyak Tanah

Saya pegang kepalanya, seperti nggak ada tenaga. Begitu juga ketika saya pegang kaki depan dan belakangnya. Tak ada perlawanan. Tapi, saat namanya dipanggil, ekornya masih merespons. Bergoyang. Ternyata, itulah respons terakhirnya.

Saya angkat lagi kepalanya, napasnya semakin berat. Hingga akhirnya, menghembuskan napasnya yang terakhir. Sekitar 10 menit setelah kami sampai di rumah. Dia menunggu kami datang sebelum pergi. Sedih. Tapi nggak bisa nangis. [Paul Yoanda/Wartawan Rakyat Merdeka]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.