Dark/Light Mode

Dari Zaman Soeharto Sampai Sekarang

APBN Kita, Sudah Terbiasa Besar Pasak Daripada Tiang

Rabu, 1 Desember 2021 09:12 WIB
Anggota Komisi XI DPR Hendrawan Supratikno (Foto: Dok. DPR)
Anggota Komisi XI DPR Hendrawan Supratikno (Foto: Dok. DPR)

 Sebelumnya 
Lalu, postur APBN idealnya seperti apa? Hendrawan menyebut, semua negara ingin pendapatannya lebih besar daripada belanjanya alias surplus. Begitu juga Indonesia. Agar hal itu terwujud, rasio pajak Indonesia hanya bisa mencapai sekitar 18-20 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sementara, saat ini, rasio pajak Indonesia hanya berkisar 8-9 persen. Meski dahulu, pernah menyentuh 10-11 persen.

Hendrawan menyebut, perpajakan kita harus direvitalisasi. Ada dua aturan main yang akan menentukan wajah ketahanan fiskal Indonesia di masa yang akan datang. Pertama, Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), yang baru saja disahkan DPR. Kedua, Rancangan Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (RUU HKPD), yang saat ini masih dibahas di DPR.

Baca juga : Dilantik Jokowi Siang Ini, Andika Perkasa Sah Jadi Panglima TNI

"Untuk 2022, dampak Undang-Undang HPP mungkin belum terlalu signifikan. Program insentif kepatuhan pajak tidak seseru program pengampunan pajak 2016-2017. Kenaikan PPN juga dilakukan bertahap. Kami berharap dampak kenaikan PPN, meski kecil, harus diantisipasi. Jangan sampai daya beli yang sudah melemah karena pandemi, menjadi lebih lemah," katanya.

Menanggapi pertanyaan Hendrawan, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyatakan, memang defisit APBN sudah terjadi sejak Orde Baru. Namun, kondisi saat ini sudah semakin bahaya. Sebab, rasio defisitnya sudah tembus 3 persen dari PDB. Menurutnya, jumlah tersebut melanggar Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Baca juga : Ke Sintang, Pak Jokowi Belum Ada Jadwalnya

Bhima menyoroti hasil defisit itu terhadap pembangunan. Contohnya, sebelum pandemi saja, pertumbuhan ekonomi hanya 5 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan anggaran tidak produktif. Pemerintah juga gagal mengendalikan belanja pegawai yang tidak sinkron dengan semangat efisiensi di era digitalisasi.

Ia menilai, belanja pegawai saat ini tidak lebih baik daripada era Soeharto. "Coba lihat bengkaknya belanja pegawai, apa separah zaman Orde Baru? Kan nggak. Ya cara-cara pengelolaan seperti ini berbahaya bagi keberlanjutan fiskal," kritik Bhima.

Baca juga : Dirut Pertamina: Kebakaran Di Tangki Cilacap Berhasil Dipadamkan

Jika tidak ingin defisit semakin melebar, ia menyarankan Pemerintah melakukan efisiensi di belanja pegawai dan belanja barang. Seperti menunda proyek infrastruktur yang boros. Kemudian, BUMN yang sakit dan menjadi beban harus segera dirapikan, dan fungsi penugasannya diganti. [MEN]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.