Dark/Light Mode

Pakar: UUD 1945 Tidak Kenal Istilah Oposisi

Senin, 1 Juli 2019 21:29 WIB
Anggota Fraksi PKS MPR Mardani Ali Sera (kanan) bersama pakar hukum tata negara Prof Juanda dalam diskusi Empat Pilar dengan “Demokrasi Pancasila, Rekonsiliasi Tak Kenal Istilah Oposisi” di Ruang Pers, Kompleks Parlemen, Senayan, Senin (1/7). (Foto: Humas MPR)
Anggota Fraksi PKS MPR Mardani Ali Sera (kanan) bersama pakar hukum tata negara Prof Juanda dalam diskusi Empat Pilar dengan “Demokrasi Pancasila, Rekonsiliasi Tak Kenal Istilah Oposisi” di Ruang Pers, Kompleks Parlemen, Senayan, Senin (1/7). (Foto: Humas MPR)

RM.id  Rakyat Merdeka - Anggota Fraksi PKS MPR Mardani Ali Sera menegaskan, keputusan partainya untuk menjadi oposisi atau tidak, merupakan kewenangan Majelis Syuro. Karena itu, Mardani tidak berani mendahului sikap partai, apakah akan mendukung atau menjadi kekuatan peyeimbang bagi pemerintah. 

Yang pasti, kata Mardani, berdasarkan masukan para kader, pendukung, dan masyarakat, sebagian besar mengharap PKS bisa istiqomah menjadi kekuatan penyeimbang bagi pemerintahan. PKS harus melaksanakan fungsi check and balances, sebagai oposisi yang kritis dan konstruktif. 

Oposisi itu pilihan sikap yang mulia. Bahkan, sekecil apa pun jumlahnya, jika dia melakukannya secara cerdas, maka bisa efektif. Lihatlah kisah cicak versus buaya, siapa menyangka cicak akan menang. Tapi karena rakyat mendukung, maka hasilnya bisa lain,” kata Mardani pada diskusi Empat Pilar dengan “Demokrasi Pancasila, Rekonsiliasi Tak Kenal Istilah Oposisi” di Ruang Pers, Kompleks Parlemen, Senayan, Senin (1/7). 

Baca juga : Tito Tidak Kasih Ampun Ke Teroris

Menurut Mardani, dalam berpolitik, para elite perlu menjaga etika dan rasionalitas. Tanpa etika dan rasionalitas, demokrasi akan terhenti di tengah jalan. Karena itu, Mardani tetap berharap, pascapemilu, Prabowo bisa bertemu dengan Jokowi, sekaligus menyatakan akan menjadi kekuatan penyeimbang bagi Pemerintah.

“Kalau semua partai mendapat jatah kursi, ini namanya akuisisi, bukan rekonsiliasi. Kalau tidak ada oposisi, publik akan merugi. Itu akan melahirkan neo Orde Baru,” kata Mardani.

Di tempat yang sama, pakar hukum tata negara Prof Juanda menerangkan, dalam UUD NRI Tahun 1945, tidak dikenal istilah oposisi. Yang ada adalah  fungsi oposisi sebagai kelompok penyeimbang pemerintah. Dan itu dilakukan oleh partai di luar penguasa beserta civil society. 

Baca juga : Dubes AS Kenang Bu Ani Tidak Kenal Lelah Bela Rakyat

“Ada gejala, kelompok penyeimbang, ini akan semakin kecil setelah beberapa partai Koalisi Adil Makmur menyeberang. Kondisi seperti ini sebenarnya patut disayangkan,” kata Juanda.

Kalau kelompok hanya isi PKS dan Gerindra, atau sebesar 22 persen, menurut Juanda, akan kurang efektif. Karena jumlah kelompok pendukung pemerintah sangat besar. Mencapai 78 persen. Karena itu, Juanda berhadap partai-partai yang mendukung Prabowo-Sandi tetap pada posisinya, sebagai penyeimbang pemerintah. 

“Ini memerlihatkan kondisi demokrasi yang tidak sehat, sekaligus menunjukkan bahwa elite politik belum menunjukkan sikap konsisten dalam mengambil pilihan politik. Padahal, kalau partai yang tergabung dalam Koalisi Adil Makmur eksis seperti dukungannya pada pemilu, hal itu akan menyehatkan demokrasi kita. Tetapi, kalau oposisi itu hanya diisi PKS, itu akan menjadi modal sosial yang besar bagi PKS pada Pemilu 2024,” kata Juanda. [USU]
 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.