Dark/Light Mode

HNW: MPR Garda Terdepan Penjaga Konstitusi

Senin, 29 Agustus 2022 10:25 WIB
Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid saat Sosialisasi Empat Pilar MPR dengan Forum Pesantren Alumni Gontor di Pondok Pesantren Modern (PPM) Baitussalam, Prambanan, Sleman, DIY, Sabtu (27/8). (Foto: Istimewa)
Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid saat Sosialisasi Empat Pilar MPR dengan Forum Pesantren Alumni Gontor di Pondok Pesantren Modern (PPM) Baitussalam, Prambanan, Sleman, DIY, Sabtu (27/8). (Foto: Istimewa)

 Sebelumnya 
Hidayat menjelaskan bahwa latar belakang munculnya amandemen UUD NRI Tahun 1945 terkait dengan wacana Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Wacana PPHN muncul karena sudah tidak ada lagi GBHN.

Salah satu kesepakatan reformasi adalah menguatkan sistem presidensial. Karena itu, presiden tidak dipilih oleh MPR, melainkan dipilih secara langsung oleh rakyat.

"Karena presiden bukan lagi mandataris MPR yang menjalankan GBHN buatan MPR maka kewenangan MPR membuat GBHN dihapus," jelasnya.

Baca juga : Lestari: Percepatan Pembangunan Butuh Kepatuhan Konstitusi

Namun, dalam perjalanan, ketiadaaan GBHN membuat arah pembangunan tidak jelas. Meskipun sudah ada UU tentang pembangunan jangka menengah dan jangka panjang, namun UU itu adalah produk presiden terpilih, bukan produk representatif dari cabang-cabang kekuasaan negara: eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Karena itu, UU tersebut tidak komprehensif sehingga perlu dikoreksi. Apalagi UU itu tidak mutlak mengikat sehingga bisa tidak dilaksanakan oleh presiden berikutnya. Kondisi ini membuat Indonesia seperti menari poco-poco karena presiden, gubernur, bupati, serta walikota, bisa dari partai yang berbeda-beda dengan program dan janji kampanye yang berbeda-beda.

"Karena itu, MPR merekomendasikan untuk mengkaji GBHN. Maka dibentukan Badan Pengkajian MPR yang mengkaji tentang PPHN. Memang bukan GBHN seperti dulu, tapi PPHN bisa memberi arahan. Agar siapapun pun presidennya tidak keluar dari haluan negara, demikian juga Gubernur, Bupati dan walikota," sambungnya.

Baca juga : Ini Makna HUT Kemerdekaan RI Menurut Skuad Macan Kemayoran

Namun, lanjut Hidayat, perdebatan terjadi ketika menentukan dasar hukum atau bentuk hukum PPHN, apakah dimasukkan dalam UUD sehingga perlu perubahan UUD, dalam bentuk Ketetapan MPR juga memerlukan amandemen UUD, dan dalam bentuk UU. Salah satu partai yang mendukung PPHN melalui amandemen UUD adalah PDI Perjuangan.

Perdebatan ini berlangsung sampai muncul wacana perpanjangan masa jabatan presiden tiga periode. Ketika terjadi ‘gonjang-ganjing’ itu dan penolakan terhadap wacana masa jabatan presiden tiga periode, akhirnya MPR yang tadinya mengusulkan amandemen UUD untuk menghadirkan PPHN, mereka balik badan menarik usulan menghadirkan PPHN melalui amandemen.

Mereka khawatir amandemen UUD ditunggangi oleh pihak-pihak tertentu yang menyalip di tikungan terakhir dengan memasukan agenda perubahan UUD untuk melegalkan masa jabatan presiden tiga periode.

Baca juga : Golkar Tangerang Siap Jajaki Koalisi

MPR sudah ketok palu bahwa tidak ada amandemen pada periode ini. Jadi, clear. Keputusan terakhir di MPR adalah sepakat bulat tidak ada amandemen UUD pada periode sekarang ini (2019- 2024).

Karenanya masa jabatan presiden tetap maksimal dua kali masa jabatan dan pemilihan umum tidak bisa diundurkan, tapi tetap harus lima tahun sekali, diselenggarakan pada tahun 2024.

"Maka yang terpenting sekarang, saat tahapan Pemilu sudah dimulai, agar semua pihak: Pemerintah, KPU, DPR, Partai, Pengamat dan Rakyat, agar fokus, kawal supaya hambatan-hambatan pemilu segera diatasi, agar pemilu sukses, dan tak hadirkan kembali pembelahan seperti dalam Pilpres 2019," pungkasnya. ■

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.