Dark/Light Mode

Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
Anies & Muhaimin
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
Prabowo & Gibran
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
Ganjar & Mahfud
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU

Wacana Penghapusan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE, KUHP dan Kebebasan Berpendapat

Jumat, 9 Desember 2022 09:11 WIB
Palu halim/Ilustrasi (Foto: Istimewa)
Palu halim/Ilustrasi (Foto: Istimewa)

Wakil Menteri Hukum dan HAM sempat mengumumkan bahwa pasal pencemaran nama baik dan penghinaan di dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) akan dihapus lewat Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Rencana tersebut tentu baik untuk demokrasi. Apalagi sejak kehadiran media sosial, pelaporan delik pencemaran nama baik menggunakan UU ITE kian populer.

Data Direktorat Siber Bareskrim Polri menyebutkan, pidana pencemaran nama baik melalui media sosial adalah yang paling banyak ditangani kepolisian. Pada tahun 2017 terdapat 1.451 laporan, dan tiga bulan pertama di tahun 2018 terdapat 338 laporan terkait pencemaran nama baik. Terkadang persoalan-persoalan sepele seperti saling ejek, kritik yang dianggap menghina sehingga dianggap mencemarkan nama baik.

Dalam perspektif hukum dan HAM di Indonesia, perlu dicarikan formula yang tepat dalam memberi koridor kebebasan berpendapat dan berekspresi sebagai hak dasar manusia. Khususnya terkait penerapan Pasal 27 ayat (3) UU ITE.

Setidaknya ada dua rumusan masalah dalam tulisan ini. Pertama, apakah Penerapan Pasal 27 ayat (3) UU ITE sudah sesuai dengan konstitusi UUD 1945, UU 39 Nomor 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan ICCPR tentang kebebasan berpendapat dan berekspresi?

Kedua, apakah wacana penghapusan pemidanaan Pasal 27 ayat (3) UU ITE pada KUHP untuk menyelaraskan kebebasan berpendapat yang ideal dari perspektif Hak asasi Manusia di Indonesia sudah tepat dan bagaimana solusinya?

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 50/PUU-VI/2008, keberlakuan terhadap Pasal 27 Ayat (3) UU ITE merujuk pada ketentuan hukum pokoknya yakni Pasal 310 KUHP.

Maka dari itu, pencemaran nama baik yang dimaksud dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE mencakupi norma hukum dalam Pasal 310 KUHP mengenai objek penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, yakni orang perorangan.

Baca juga : RKUHP Jamin Kebebasan Berpendapat Dan Demokrasi

Selanjutnya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut juga mensyaratkan adanya pengaduan (klacht) terhadap Pasal 27 Ayat (3) UU ITE untuk dapat dituntut di depan pengadilan. Pasal 27 Ayat (3) UU ITE termasuk ke dalam jenis delik aduan absolut sebagaimana Pasal 310 dimana objek penghinaan dan/atau pencemaran nama baik disini merupakan orang perorangan.

Secara objektif, penerapan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE jo ke Pasal 45 Ayat (3) UU ITE ke dalam perkara pencemaran nama baik, didasarkan pada ukuran umum, apakah penilaian suatu perbuatan termasuk perbuatan menyerang kehormatan dan/atau nama baik atau bukan. Perlu melakukan pengujian, apakah syarat-syarat perbuatan atau keadaan yang disebutkan dalam ketentuan tersebut yakni unsur-unsur deliknya sudah terpenuhi atau belum.

Sedangkan secara subjektif, ada orang yang merasa terserang kehormatan dan/atau nama baiknya akibat adanya ucapan orang lain yang menuduhkan suatu perbuatan kepadanya. Kapan seseorang dapat dikatakan terserang kehormatan atau nama baiknya tersebut didasarkan pada subjektivitas korban. Pada praktiknya terdapat tiga poin yang harus diperhatikan dalam hal penerapan Pasal 27 ayat (3) UU ITE sebagai delik aduan absolut.

1) Harus korban sendiri yang mengadukan kepada aparat penegak hukum kecuali dalam hal korban masih di bawah umur atau dalam perwalian.
2) Korban sebagai pelapor harus orang perseorangan dengan identitas spesifik, bukan institusi, korporasi, identitas profesi atau jabatan.
3) Pelapor adalah seseorang yang merasa dirugikan secara pribadi atas konten tersebut.

Pada praktiknya, masih ditemukan penerapan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE ke dalam perkara pencemaran nama baik yang kontennya tidak ditujukan kepada seseorang, melainkan kepada kelompok orang. Dengan kata lain, penerapan ketentuan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE dalam hal ini belum merujuk pada norma yang terkandung dalam Pasal 310 KUHP.

Pengaturan penerapan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE jika dikaitkan kebebasan berpendapat sendiri bila merujuk pada kontitusi UUD 1945 yaitu pasal 28 E Ayat (3) yang berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Namun diatur juga pembatasan terkait dengan pembatasan terkait kebebasan tersebut di dalam pasal 28 J Ayat (2) yang berbunyi “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.

Sedangkan UU 39 Nomor 1999 tentang Hak Asasi Manusia pada pasal 23 ayat (2) berbunyi “Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak meupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa”.

Baca juga : Lestari: Pemenuhan Hak Anak Harus Jadi Kepedulian Bersama

Dan pasal 25 yang berbunyi “Setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk hak untuk mogok sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Namun disisi lain UU tersebut juga mengatur pada pasal 70 yang berbunyi “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.

Bila dikaitkan penerapan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE dengan ketentuan ICCPR, maka jika melihat poin (a) prinsip ke-4 Pasal 19, yang merekomendasikan Negara-negara yang menandatangani ICCPR untuk menghapuskan dan mengganti mekanisme penyelesaian perkara pencemaran nama baik melalui mekanisme perdata.

Negara masih mengatur hukum pencemaran nama baik dalam hukum pidananya dihimbau untuk menerapkan prinsip ini secara progresif. Pada poin (b), jika masih diberlakukan hukum pidana untuk membatasi hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi maka pihak yang merasa dicemarkan nama baiknya harus membuktikan bahwa benar telah terjadi pencemaran nama baik terhadapnya dan telah ada kerugian yang diderita.

Berdasarkan prinsip tersebut, maka harus dapat ditunjukkan di persidangan kerugian yang diderita oleh pihak yang dicemarkan nama baiknya. Ini berarti rumusan pasal pencemaran nama baik tidak hanya dirumuskan secara formal, tetapi secara material, yaitu merumuskan akibat yang ditimbulkan oleh pencemaran nama baik yang terjadi.

Hukum pidana pencemaran nama baik menurut prinsip Article 19 ICCPR tidak memungkinkan pejabat berwenang termasuk polisi dan jaksa penuntut umum untuk terlibat dalam upaya membuka atau mengajukan gugatan hukum terhadap kasus pencemaran nama baik.

Pasal 27 Ayat (3) UU ITE bila dikaitkan dengan Pasal 28 E Ayat (3) UUD 1945, Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 25 UU 39 tahun dan ketentuan ICCPR sangat tidak sesuai karena memberi ruang bagi penegak hukum untuk melakukan pembatasan yang berlebihan atau pembatasan yang tidak perlu terhadap hak kebebasan berekspresi dan berpendapat yang sah dan proporsional.

Sehingga, wacana penghapusan pemidanaan Pasal 27 ayat (3) UU ITE pada  RKUHP sudah tepat. Karena sesuai rekomendasi ICCPR yaitu menghapuskan mekanisme penyelesaian perkara pencemaran nama baik melalui mekanisme pidana.

Baca juga : Jokowi: Saya Selalu Perjuangkan Rakyat Kecil Dan Negara Berpenghasilan Rendah

Namun di sisi lain, perlindungan bagi warga negara terhadap kemungkinan menjadi korban pencemaran nama baik serta terpenuhinya Pasal 28 jo Ayat (2) UUD 1945 dan pasal 70 UU UU 39 Nomor 1999 tentang HAM, negara tetap perlu untuk :

a) Mengatur regulasi mekanisme penyelesaian perkara pencemaran nama baik melalui mekanisme perdata.

b) Bila tetap akan diatur melalui mekanisme pidana, hendaknya dirumuskan dengan jelas batasan perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik sehingga memberikan kepastian hukum bagi masyarakat. Pendekatan pemulihan atau restorative justice bisa diambil.■

Penulis, Mahasiswa Magister Ilmu Hukum UGM Jakarta konsentrasi Litigasi

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.