Dark/Light Mode

DPR Dorong Penguatan Stabilitas Nilai Tukar Rupiah

Senin, 4 Mei 2020 13:24 WIB
Anggota Komisi XI DPR-RI Fraksi Partai Golkar Puteri Anetta Komarudin.
Anggota Komisi XI DPR-RI Fraksi Partai Golkar Puteri Anetta Komarudin.

RM.id  Rakyat Merdeka - Selama empat pekan terakhir, rupiah konsisten menguat terhadap dolar Amerika. Jika pada akhir Maret rupiah hamper menyentuh Rp 17 ribu per dolar, kini sudah anteng di kisaran Rp 15-14 ribu. 

Anggota Komisi XI DPR-RI Fraksi Partai Golkar Puteri Anetta Komarudin meminta agar momentum penguatan kurs rupiah terus dijaga hingga bergerak ke arah fundamentalnya.

"Sebelumnya, kurs rupiah mengalami tekanan seiring merebaknya pandemi Covid-19 yang memicu kepanikan investor, sehingga mendorong capital outflows dan pengetatan USD di pasar global. 

Selama ini pergerakan nilai rupiah cenderung undervalue. Padahal pada kuartal pertama, defisit transaksi perdagangan masih lebih rendah dibandingkan perkiraan yaitu 1,5 persen dari 2,5-3 persen terhadap PDB. 

Baca juga : Tanggapi Najwa Shihab, Arteria: Ini Puasa, Perbanyak Ibadah Bukan Gibah

“Namun, saat ini kurs rupiah terus menguat ke arah fundamental value yang disebabkan perbedaan imbal hasil (yield) yang cukup tinggi, baik dalam maupun luar negeri, sehingga memicu inflows”, jelas Puteri dalam rilisnya, Senin (4/5).

Puteri menilai penguatan kurs rupiah tidak terlepas dari peran pemerintah maupun otoritas terkait seperti Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang merumuskan operasi moneter dan fiskal. 

Selama periode Januari-April, Bank Indonesia telah melakukan kebijakan quantitative easing (QE) atau pelonggaran makroprudensial dengan injeksi likuiditas perbankan sebesar Rp 386 triliun. 

Selain itu, Bank Indonesia juga akan kembali melakukan quantitative easing sebesar Rp 117,8 triliun pada awal bulan ini.

Baca juga : Ini Saran DPR untuk Selamatkan Garuda yang Tengah Limbung

Perlu diperhatikan bahwa kebijakan quantitative easing berbeda dengan mencetak uang. Quantitative easing merupakan kaidah kebijakan moneter yang dilakukan apabila kondisi likuiditas perbankan berkurang, sehingga diperlukan penambahan likuiditas.

Penambahan dilakukan melalui penurunan Giro Wajib Minimum (GWM), term repo perbankan, serta pembelian SBN di pasar sekunder. Sementara, istilah mencetak uang adalah ketika bank sentral menambah uang yang beredar namun tidak dapat diserap. 

Misalnya ketika bank sentral mengedarkan uang dengan membeli surat utang pemerintah yang tidak tradable dan suku bunganya mendekati 0 persen, sehingga dapat menimbulkan inflasi yang signifikan.

“Saya mengapresiasi intervensi Bank Indonesia melalui kebijakan quantitative easing dengan total mencapai Rp 503,8 triliun untuk mengurangi ketatnya dolar di pasar, sehingga dapat membantu stabilisasi nilai tukar rupiah,” tuturnya.

Baca juga : Senayan Kaget Latihan Bikin Pempek Bayar Rp 600 Ribu

Puteri menyebutkan beberapa hari lalu, pemerintah telah mengumumkan paket stimulus fiskal untuk perlindungan dan pemulihan ekonomi bagi sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang terdampak Covid-19. 

Kebijakan tersebut di antaranya terdiri atas insentif pajak, relaksasi dan restrukturisasi kredit, hingga perluasan pembiayaan modal kerja. 

“Jika intervensi BI adalah dengan mendukung likuiditas perbankan, maka peran pemerintah adalah melalui pelonggaran aspek fiskal yang bertujuan untuk menggerakkan sektor riil. Stimulus fiskal ini diharapkan dapat menjadi sentimen positif bagi investor untuk mulai berinvestasi ke pasar domestik sehingga kembali memicu capital inflows”, tutupnya. [EDY]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.