Dark/Light Mode

Peringati Hari Santri

Basarah Kenang Fatwa Resolusi Jihad

Kamis, 22 Oktober 2020 19:50 WIB
Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah.
Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah.

RM.id  Rakyat Merdeka - Pada peringatan Hari Santri, Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah mengenang jasa para ulama dalam berjibaku merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Salah satunya, fatwa resolusi jihad Fii Sabililah oleh KH Hasyim Asy'ari pada 22 Oktober 1945. KH Hasyim saat itu mewajibkan setiap Muslim dan Muslimat membela negara dari gempuran tentara sekutu atas dasar keimanan pada Allah dan cinta Tanah Air.

Dalam fatwa itu, KH Hasyim Asy’ari mengungkapkan hubbul wathan minal iman, hubbul wathan minal yang artinya cinta Tanah Air adalah bagian dari iman, bela negara adalah bagian dari menjalankan syariat agama. 

"Karena itu, kata jihad  yang artinya bersungguh-sungguh seharusnya selalu dimaknai positif bersungguh-sungguh melakukan kebaikan di jalan Allah, termasuk mencintai Tanah Air demi kebaikan bangsa,’’ jelas Ahmad Basarah, di tengah masa reses yang dijalaninya di Malang, Jawa Timur, Rabu (21/10). 

Baca juga : Peringati Hari Santri, Ibas Bagikan Wifi Gratis

Soal Hari Santri, Anggota DPR dari daerah pemilihan Malang Raya ini menjelaskan, lahirnya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2015 tentang Hari Santri bukan hanya bagian dari upaya  Presiden Joko Widodo memenuhi janji-janjinya dalam kampenye di Pemulu 2014. Lebih dari itu, Keppres Hari Santri merupakan pengakuan negara terhadap peran, jasa, dan kontribusi seluruh ulama Tanah Air dalam berjihad merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. 

Dia menilai, pertempuran Surabaya 10 November 1945 tidak akan pernah terjadi tanpa fatwa perang sabil yang diserukan KH Hasyim Asy'ari dan alim ulama di Jawa-Madura.

"Fatwa itu menjadi landasan moril sekaligus spirituil untuk menggelorakan api perjuangan rakyat Indonesia. Inilah hasil ijtihad alim ulama yang menempatkan ajaran agama dan semangat kebangsaan dalam satu tarikan nafas,"  kata Dosen Tetap Pascasarjana Universitas Islam Malang (Unisma) itu. 

Baca juga : Puan: Peringatan Hari Santri Momentum Jaga Persatuan Dan Gotong Royong

 Basarah menceritakan, latar belakang ditetapkannya keputusan politik ketatanegaraan Hari Santri bermula ketika dirinya mendampingi Presiden untuk memperingati haul pendiri NU dan Bung Karno di Jawa Timur pada 27 Juni 2014. Saat itu, Jokowi dalam kapasitasnya sebagai calon presiden, berkunjung ke Pesantren Babussalam di Jalan Hasyim Asy'ari, Banjarejo, Malang, Jawa Timur. Di sanalah, di hadapan pengasuh Pondok Pesantren Babussalam KH. Thoriq Bin Ziad, alim ulama dan ribuan pendukungnya, Jokowo menandatangani kontrak politik bahwa ia sanggup menetapkan 1 Muharram sebagai Hari Santri jika kelak memenangkan Pemilu 2014. 

"Ide awalnya memang Hari Santri direncanakan diperingati setiap 1 Muharram seperti yang tertera dalam kontrak politik itu. Namun, dalam perjalanannya, Presiden Jokowi menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai hari santri yang tentu saja dengan pertimbangan matang," jelas Ketua DPP PDI Perjuangan ini.   

Setelah kontrak politik itu direalisasikan Basarah mengajak semua pihak untuk mengenang peran alim-ulama dan tokoh-tokoh bangsa lainnya dalam proses merumuskan Pancasila sebagai dasar negara.

Baca juga : Peringati Sumpah Pemuda, Ini Pesan Dubes RI Di Addis Ababa

Pengurus Lazis NU ini menegaskan, diterimanya Pancasila sebagai dasar negara dengan menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa di sila pertama sebagai dasar dan ideologi negara adalah hasil ijtihad para alim ulama.  Menurutnya, ada peran KH Wahid Hasyim di situ, juga ada kontribusi Ki Bagus Hadikusumo dan jasa Kasman Singodimedjo serta tokoh-tokoh bangsa lainnya. Negara telah memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Kasman Singodimedjo melalui Keppres Nomor 123/TK/Tahun 2018 atas jasanya menjadi jembatan pemersatu antara Golongan Islam dan Golongan Kebangsaan dalam sidang PPKI pada 18 Agustus 1945.

Dalam peringatan Hari Santri ini, Ketua Fraksi PDI Perjuangan ini juga menyampaikan apresiasinya tinggi kepada dua organisasi besar nasional, NU dan Muhammadiyah. NU telah meneguhkan kembali komitmennya menjadikan Pancasila sebagai dasar negara dalam Muktamar ke-27 di Situbondo tahun 1984, sementara Muhammadiyah pada Muktamar ke-47 di Makassar, Sulawesi Selatan, menegaskan bahwa Negara Pancasila merupakan Darul Ahdi (negara kesepakatan) Wa Syahadah (dan tempat kesaksian).  QAR

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Tags :