Dark/Light Mode

Kalau Ikut Pemenang

Yang Menikmati 1 Orang, Gerindra-nya jadi Kerdil

Minggu, 30 Juni 2019 06:13 WIB
Bendera Partai Gerindra (Foto: Istimewa)
Bendera Partai Gerindra (Foto: Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Setelah Prabowo kalah, banyak yang penasaran dan menebak-nebak di mana posisi Gerindra. Apakah sebaiknya tetap jadi oposisi atau merapat ke Jokowi? Banyak analisis, tapi satu analisis ini layak dipertimbangkan Prabowo juga elite-elite Gerindra. Kalau gabung dengan pemenang, yang nikmati hanya seorang atau dua orang, sementara Gerindra-nya bisa jadi kerdil.
 
Analisis seperti itu disampaikan tiga pengamat politik. Yaitu Arif Susanto, Bawono Kumoro, dan Hendri Satrio.
 
Arif mengatakan, oposisi adalah kebutuhan yang tak terelakkan dalam sebuah demokrasi. Demokrasi akan berjalan baik kalau ada opisisi yang kuat. Karena itu, ia berharap Gerindra tak merapat ke pemerintahan. “Tapi tetap jadi oposisi untuk mengawasi roda pemerintahan,” kata Arif, kemarin. 

Direktur Ekposit Strategic ini menyebut, rekonsiliasi Jokowi dengan Prabowo tak mesti harus dengan bagi-bagi kursi. “Kalau Prabowo merapat ke pemerintahan, tentu ini akan membuat para pendukungnya, yang sudah membesarkan Gerindra, kecewa berat,” ungkapnya.
 
Bawono Kumoro menyatakan hal serupa. Pengamat dari Habibie Center ini menyebut, bergabungnya Gerindra dalam pemerintahan akan membuat demokrasi jomplang. Tak akan ada lagi check and balances di parlemen. Semua akan satu suara. “Dan itu berbahaya,” kata Bawono, kemarin.
 
Hendri Satrio mengatakan, Gerindra memang punya peluang untuk merapat ke rangkulan Jokowi. Apalagi, partai berlambang kepala garuda itu punya modal politik besar. Mendapat 78 kursi di parlemen atau 13,6 persen.

Hendri memahami suasana kebatinan orang Gerindra saat ini. Kata dia, Gerindra sudah jadi oposisi hampir 15 tahun. Gerindra memang sudah menjadi oposisi sejak pemerintahan Presiden SBY periode pertama. Sejak masuk parlemen sampai sekarang, Gerindra selalu menjadi oposisi.

Baca juga : Kesampingkan Perang Dagang, AS-China Gencatan Senjata di KTT G20

“Ini tentu tidak mudah bagi Gerindra. Pasti ada kader-kader ataupun pengurus Gerindra yang 'dahaga'," kata Hendri, kemarin.
 
Akankah Gerindra merapat ke pemerintahan? Pengamat politik dari Universitas Paramadina ini menyatakan, mungkin saja. Semua tergantung keputusan Prabowo. Hanya saja, kata dia, akan ada beberapa dampak jika Gerindra merapat. Pertama, akan berpengaruh pada iklim demokrasi. Tanpa ada oposisi yang kuat di parlemen, pemerintah akan seperti mobil tanpa rem. Demokrasi akan menggali kemunduran. “Saya pribadi menginginkan tetap ada oposisi kritis di parlemen sehingga tidak ada lagi Orde Baru jilid II, di mana semua menyanyikan lagu 'setuju',” ungkapnya.

Kedua, jatah kursi menteri untuk dibagikan ke koalisi pendukung Jokowi tentu akan berkurang. Sementara banyak partai yang mendukung Jokowi-Ma’ruf dalam pilpres kemarin. Total ada 9 partai. Kalau ditambah lagi dengan Gerindra tentu akan menjadi koalisi gemuk. “Dalam kondisi ini tak ada jaminan koalisi akan langgeng sampai akhir. Berkaca di pemerintahan SBY, koalisi gemuk akhirnya cerai berai di penghujung kekuasaan untuk mencari jalan kekuasaan baru,” ujarnya.

Terakhir, Gerindra akan rugi. Kalau Gerindra merapat, yang untung paling hanya satu dua orang. Yaitu yang mendapat jatah jadi menteri. Sedangkan partainya akan ambruk. Para pendukung Gerindra akan kabur. “Konstituen Gerindra sangat mungkin akan berpaling dan itu akan menyebabkan Gerindra yang sudah besar sekarang akan jadi kerdil,” ucapnya.
 
Bagaimana sikap Gerindra? Wakil Ketua bidang Advokasi DPP Gerindra, Hendarsam Marantoko, mengatakan, partainya merasa lebih nyaman menjadi oposisi ketimbang bergabung dalam pemerintahan Jokowi. “Kita kedepankan kepentingan bangsa dan negara, kepentingan konstituen juga. Gerindra itu nyaman dengan posisi oposisi. (Gerindra) enggak ngiler-ngiler amat masuk koalisi," kata Hendarsam, dalam sebuah diskusi di Menteng, Jakarta, kemarin.
 
Dia bilang, selama 15 tahun tak berada di dalam pemerintahan, Gerindra justru meraup berkah besar. Salah satunya yakni memperoleh suara terbesar kedua pada Pileg 2019, meski Prabowo-Sandiaga kalah dari Jokowi-Ma'ruf. "Ibarat kata orang, kita ini sudah orang kaya. Jadi, kalau soal koalisi, bukan menggiurkan juga untuk kita," ucapnya.
 
Hendarsam memastikan, tak pernah ada kesepakatan politik antara Prabowo dan Jokowi agar ada kadernya yang mendapatkan jabatan menteri di kabinet. Namun, tak menutup kemungkinan jika Prabowo dan Gerindra merapat ke koalisi Jokowi meskipun peluang untuk merapat ke Jokowi belum diputuskan secara resmi. Hanya saja, syaratnya Jokowi harus benar-benar mengedepankan kepentingan bangsa. "Pak Jokowi memang harus menjadi pemimpin setiap golongan," tuturnya. 

Baca juga : Banteng, Gerindra dan PKB Kuasai DPRD Se-Jawa

Di Yogyakarta, mantan Ketua MK Mahfud MD memprediksi, hanya akan ada satu partai yang jadi oposisi. Partai itu adalah PKS. Ada pun Gerindra, PAN, dan Demokrat diprediksi akan merapat ke Jokowi. “PKS tampaknya belum beri sinyal untuk bergabung (ke pemerintahan)," kata Mahfud, di sela acara Simposium Nasional Hukum Tata Negara yang digelar Universitas Islam Indonesia (UII), di Hotel Sheraton, Sleman, Yogyakarta, kemarin.

Kata Mahfud, Gerindra yang selama ini keras mengkritik pemerintahan pun tampaknya akan merapat. “Tapi belum final juga. Saya berharap ada parpol seperti PDIP, 2004-2014 yang gigih tak bergabung ke pemerintahan,” ujarnya.

Karena kondisi itu, Mahfud berharap, rakyat tidak lagi bersitegang.
"Sejak dulu saya sudah bilang jangan membela terlalu panas karena akan kecewa sendiri. Toh yang dibela juga akhirnya bersatu karena memang budaya politik kita seperti itu," ucapnya. [BCG]
 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.