Dark/Light Mode
BREAKINGNEWS
Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU
PN Jakpus Minta Pemilu Ditunda
NasDem: Itu Penodaan Terhadap Konstitusi
Jumat, 3 Maret 2023 11:31 WIB
RM.id Rakyat Merdeka - Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) yang memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunda proses dan tahapan Pemilu 2024, terus menuai kritik. Yang terbaru, datang dari Partai NasDem.
Partai yang dipimpin Surya Paloh itu menilai, putusan hakim PN Jakpus bernomor 757 Tahun 2022, telah menabrak konstitusi.
NasDem menyebut, itu adalah penodaan terhadap konstitusi.
"Kenapa demikian? Karena dalam putusannya, PN Jakpus menjatuhkan hukuman kepada KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan pemilihan umum 2024. Padahal, amanat konstitusi jelas menyatakan, pemilu dilaksanakan 5 (lima) tahun sekali," ujar Ketua Bidang Hubungan Legislatif Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai NasDem, Atang Irawan dalam keterangan tertulisnya, Jumat (3/3).
Baca juga : Praktisi Hukum: Putusan Penundaan Tahapan Pemilu Langgar Konstitusi
Atang yang juga Pakar Hukum Tata Negara ini menganggap, keputusan PN Jakpus merupakan turbulensi yustisial, yang mencoreng muka eksistensi peradilan.
Selain itu, Atang juga berpendapat, putusan ini mencurigakan.
Dia bilang, kecurigaan itu datang, ketika PN Jakpus memeriksa gugatan ini.
Pertama, mengacu skema kontestasi politik, sengketa sebelum pencoblosan yang berdimensi administratif. Itu adalah domain Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Baca juga : Persiapan Pemilu Terus Berjalan, Kemendagri: Jangan Percaya Isu Penundaan Pemilu
"Seharusnya, PN Jakpus menyatakan, gugatan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard). Tapi kenyataannya, malah diterima," jelas Atang.
Kecurigaan publik ini semakin menguat, karena gugatan perdata tersebut menggunakan dasar Perbuatan Melawan Hukum (PMH).
Padahal, jika memperhatikan PERMA No.2 tahun 2019, Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan dan atau Pejabat Pemerintahan (Onrechmatige Overheidsdaad), dan keputusan KPU selain penetapan perolehan suara, merupakan perbuatan pemerintahan yang menjadi domain peradilan Tata Usaha Negara (TUN). Mengacu pada UU Peradilan TUN (Pasal 2 UU No. 9 tahun 2004).
Dalam hal ini, menurut Atang, semakin kentara bahwa hakim melakukan ultra petita. Melompat dari apa yang dimohonkan.
Baca juga : Buntut PN Jakpus Perintahkan KPU Tunda Pemilu, KY Siap Terima Aduan
"Kasus ini adalah penyelesaian perdata, yang putusannya seharusnya terkait dengan perbuatan KPU terhadap Penggugat, dalam tahapan pemilu yang dimohonkan.
Tapi putusannya, malah berakibat pada seluruh tahapan pemilu.
"Ironis memang, jika kita memandang bahwa hakim dianggap tidak atau bahkan belum tahu regulasi tentang kontestasi politik. Ini semakin menunjukan peradilan kita menuju kearah kesesatan berpikir. Karena hakim harus dianggap memahami hukum, sebagai bagian dari Prinsip Ius Curia Novit," papar Atang. ■
Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News
Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Tags :
Berita Lainnya