Dark/Light Mode

Gerindra Dituntut Buka Metodologi Surveinya ke Publik

Rabu, 10 April 2019 06:56 WIB
Ilustrasi pemungutan suara (Foto: Istimewa)
Ilustrasi pemungutan suara (Foto: Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Partai Gerindra didorong membuka ke publik, soal metodologi penelitian survei internalnya, yang menyebut elektabilitas paslon 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, yang jauh di atas capres nomor 01 Joko Widodo-KH Ma'ruf Amin.

"Jika metodologi penelitian itu tidak dibuka ke publik, maka hasil survei itu tidak dapat dipertanggungjawabkan," ujar Pengajar Ilmu Politik FISIP UI Sri Budi Eko Wardani, Selasa (9/4).

Hal tersebut disampaikan Sri, menanggapi pernyataan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Sugiono, yang menyebut elektabilitas Prabowo unggul jauh atas Jokowi, Senin (8/4).

"Kami punya survei internal, 62 persen Prabowo, 38 persen Jokowi. Kita punya asesmen 62 persen. Terus yang selama ini beredar, Prabowo-Sandi selalu di angka yang rendah," jelas Sugiono.

Baca juga : Eni Saragih Pertanyakan Keadilan

Dalam pandangannya selaku akademisi, Sri mempertanyakan motif dari diumumkannya hasil survei internal partai tersebut.

"Kalau survei digelar internal, seharusnya itu hanya untuk konsumsi internal. Bukan diumumkan ke publik. Itu hanya menjadi konsumsi internal, buat menyusun strategi internal. Tapi, jika itu diumumkan, itu artinya ada motif untuk membangun opini publik," terang doktor di bidang politik tersebut.

Sri yang pernah aktif di Pusat Kajian Politik UI itu juga menambahkan, setelah hasil survei internal itu dibuka ke publik, Gerindra memiliki tanggung jawab menjelaskan metode penelitian surveinya.

"Ketika sudah menjadi pengetahuan publik, survei itu harus dibuka. Termasuk, metodologi penelitiannya. Sehingga, bisa dipertanggungjawabkan. Masyarakat harus kritis soal itu. Penelitinya pun harus bisa menjelaskan," tandasnya.

Baca juga : Koperasi Dituntut Terapkan Teknologi Digital Demi Milenial

Terlepas dari itu, Sri melihat di tahun politik ini banyak bermunculan survei yang dilakukan oleh lembaga-lembaga, yang belum diketahui kredibilitasnya.

"Ada lembaga survei yang sudah teruji kredibilitasnya, dan hasil surveinya terbukti mendekati kebenaran. Tapi, saat ini banyak bermunculan lembaga survei yang belum diketahui track recordnya, tiba-tiba membuat survei. Ini yang harus dikritisi masyarakat," papar Sri.

Jika masyarakat tidak kritis, sambung dia, akan terbangun opini masyarakat yang asal percaya atas hasil survei yang belum tentu bisa dipertanggungjawabkan metodologi penelitiannya. Apalagi, jika hasil survei itu dipercaya sebagai gambaran nyata Pilpres 17 April nanti.

"Kalau hasil pilpres tidak sesuai dengan hasil survei internal, kemudian dikatakan ada kecurangan, itu salah besar. Ini berbahaya. KPU harus menjawabnya. KPU harus menjawab hasil survei tidak menggambarkan populasi pemilih yang mencoblos," tegas Sri. 

Baca juga : Airlangga Pede Golkar Gondol 110 Kursi DPR

Dijelaskan, survei bukan alat pengukur populasi. Sementara hasil pemilu, adalah gambaran populasi pemilih.

"Survei itu menyaring pendapat. Pendapat itu bisa berubah-ubah, bahkan hingga di bilik suara. Sementara quick count, itu ditanya kepada pemilih setelah mencoblos. Jadi, quick count bisa menjadi alat pembanding hasil penghitungan. Bukan hasil survei," tutupnya. [HES]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.