Dark/Light Mode

Seminar Kebangsaan LDII

Bamsoet Ajak Hindari Politisasi Identitas di Pemilu 2024

Rabu, 23 Agustus 2023 17:12 WIB
Ketua MPR Bambang Soesatyo (Foto: Dok. MPR)
Ketua MPR Bambang Soesatyo (Foto: Dok. MPR)

RM.id  Rakyat Merdeka - Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) menekankan, tahun 2024 adalah penanda penting dalam demokrasi di Indonesia. Pada 2 Juli 2023, KPU telah mengumumkan daftar pemilih tetap (DPT) nasional yang mencapai hampir 205 juta pemilih, dengan lebih dari 50 persen pemilih perempuan.

Di beberapa provinsi besar, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, rata-rata jumlah pemilih mencapai 30-an juta pemilih. Sebagai gambaran, jumlah pemilih di Jawa Barat yang mencapai 35 juta orang, lebih banyak daripada jumlah penduduk Australia yang sekitar 27 juta orang.

Para pemilih akan memberikan suara di lebih dari 820 ribu TPS untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Total ada 20.462 kursi di lembaga-lembaga legislatif yang akan diperebutkan oleh lebih dari 200 ribu calon anggota legislatif.

"Pemilu di Indonesia sangat kompleks, dengan biaya yang sangat mahal. Dana yang dikelola KPU saja mencapai hampir Rp 77 triliun, belum termasuk dana yang dikelola lembaga-lembaga lain untuk menopang aktivitas pemilu, termasuk di TNI dan Polri. Pemilu memang mahal, namun itulah biaya yang harus dikeluarkan untuk menegakkan demokrasi secara prosedural," ujar Bamsoet, dalam Seminar Kebangsaan yang diselenggarakan Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), secara virtual dari Jakarta, Rabu (23/8).

Baca juga : Mak Ganjar Gelar Pelatihan Buat Asbak Dari Botol Bekas Air Mineral

Turut hadir antara lain Ketua Umum LDII KH Chriswanto Santoso, Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro Prof Singgih Tri Sulistiyono, Sekretaris PP Muhammadiyah Izzul Muslimin, Paramadina Public Policy Institute Abdul Malik Gismar, dan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia Prof Yudi Latif.

Ketua DPR ke-20 ini menjelaskan, di negara-negara Asia Tenggara khususnya dan Asia pada umumnya, pengelolaan Pemilu termasuk yang paling tertata dan kerap dijadikan rujukan. Namun di sisi lain, tidak dapat dipungkiri, ada beberapa persoalan yang perlu diselesaikan. Misalnya terkait regresi demokrasi. Sejak 2020, sudah ada beberapa publikasi, antara lain Thomas Power dan Eve Warburton (tahun 2020) yang menyoroti kekhawatiran demokrasi di Indonesia bergerak dari stagnasi menuju regresi dalam satu dekade terakhir.

"Sedangkan laporan Democracy Index dari the Economist Intelligence Unit tahun 2022 mencatat, Indonesia memperoleh skor demokrasi yang sama pada tahun 2021, yaitu 6,71 dari 10. Tetapi secara ranking demokrasi Indonesia mengalami penurunan, dari posisi 53 ke posisi 54 dari total 167 negara," jelas Bamsoet.

Ketua Dewan Pembina Depinas SOKSI ini menerangkan, persoalan lainnya yakni politisasi identitas yang menjadi lebih jelas dalam beberapa tahun terakhir di berbagai negara, tidak terkecuali di Indonesia. Dalam tiga edisi terakhir pemilihan, yakni Pemilu 2014, Pilkada DKI 2017, dan Pemilu 2019 telah terjadi polarisasi politik yang begitu besar. Hal tersebut tampaknya masih akan terus berlanjut pada Pemilu 2024, lantaran perbedaan afiliasi politik di antara masyarakat.

Baca juga : Mari Berpolitik Rasional, Jangan Mengkritisi Hanya Dengan Asumsi

Sebagaimana terekam dalam laporan survei Litbang Kompas bertajuk “Tantangan Menepis Polarisasi Politik Pemilu 2024”, sebanyak 27,1 persen responden menilai sikap saling tidak menghargai pilihan atau intoleransi menjadi sumber utama terjadinya polarisasi ketika Pemilu.

Politik uang juga masih menjadi persoalan besar yang dihadapi. Merujuk hasil pemetaan kerawanan Pemilu dan pemilihan menyoal politik uang yang dilakukan Bawaslu pada tahun 2023, terdapat lima provinsi paling rawan yang perlu mendapatkan pengawasan ketat. Yakni Maluku Utara dengan skor 100, Lampung skor 55,56, Jawa Barat skor 50, Banten skor 44,44, dan Sulawesi Utara skor 38,89.

"Jika dilihat berdasarkan agregasi tiap kabupaten/kota, Papua Pegunungan menjadi provinsi dengan tingkat kerawanan tertinggi politik uang. Semua kabupaten di sana masuk dalam kategori rawan. Sembilan provinsi di bawah Papua Pegunungan adalah Sulawesi Tengah, DKI Jakarta, Kalimantan Barat, Banten, Lampung, Papua Barat, Jawa Barat, Kepulauan Riau, dan Maluku Utara," terang Bamsoet.

Dosen Tetap Pascasarjana Program Doktor Universitas Borobudur ini juga menyoroti tingkat kepercayaan publik terhadap pemilu dan penyelenggara Pemilu yang cenderung menurun tiap tahunnya. Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) dalam masa pra dan pasca Pilkada DKI 2017, serta pra dan pasca Pemilu 2019, membuktikan hal itu. Hasil survei tersebut menunjukkan penurunan kepercayaan publik dari 82,3 persen menjadi 78,1 persen. Selain itu, survei litbang Kompas pada awal 2023 juga menunjukkan terjadinya penurunan tingkat kepercayaan publik terhadap KPU hingga hanya menjadi 62 persen.

Baca juga : Wariskan Semangat Kebudayaan, Pena Mas Ganjar Gelar Pentas Seni Pelajar Di Pati

"Di sisi lain, pengawasan rakyat pasca Pemilu juga masih lemah. Aktivitas pengawasan warga yang efektif memainkan peran penting dalam menjaga kesehatan masyarakat yang demokratis. Pengawasan ini berfungsi sebagai kontrol terhadap kekuasaan pejabat terpilih, mencegah penyalahgunaan kekuasaan, dan memastikan implementasi kebijakan yang sesuai dengan kepentingan publik. Namun dalam implementasinya, pengawasan oleh warga negara cenderung melemah setelah pemilu dilaksanakan," pungkas Bamsoet.

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.