Dark/Light Mode

Peta Menuju Pemilu 2024 Yang Kompetitif Dan Adil

Senin, 28 Agustus 2023 19:20 WIB
Zuhad Aji Firmantoro. (Foto: Istimewa)
Zuhad Aji Firmantoro. (Foto: Istimewa)

Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 tinggal menghitung bulan. Para petarung (Calon Presiden) kian mengerucut pada tiga sosok; Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan. Jika tiga poros ini bertahan, atau malah bertambah, maka Pemilu dipastikan akan berlangsung demokratis sesuai amanat konstitusi.

Koalisi pengusung Prabowo cukup gemuk, terdiri atas Gerindra, PKB, Golkar, dan PAN. Sampai sekarang, koalisi ini belum mengumumkan Calon Wakil Presiden dari mereka. Seakan-akan masih berlangsung tawar-menawar yang win-win solution di kalangan mereka. 

Begitu pula koalisi PDI Perjuangan dan PPP, yang belum mendeklarasikan siapa Cawapres bagi Ganjar Pranowo. Hal yang sama terjadi pada koalisi Partai NasDem, PKS, dan Demokrat yang mengusung Anies Baswedan sebagai Capres. Artinya, tidak satu pun koalisi yang telah menentukan secara utuh pasangan Calon Presiden-Wakil Presiden mereka.

Catatan kritisnya ada pada pendaftaran Calon Presiden dan Wakil Presiden yang masih relatif lama, yakni tanggal 19 Oktober 2023. Tempo yang melar bisa dipolitisir, dan berpotensi menjadi penyelewengan kekuasaan. Sebab, Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo masing-masing adalah pejabat publik, yang belum menanggalkan jabatannya. Prabowo Subianto masih menjabat sebagai Menteri Pertahanan, dan Ganjar Pranowo sebagai Gubernur Jawa Tengah. Hanya Anies Baswedan yang tidak memiliki jabatan publik.

Komposisi tersebut membuat banyak orang khawatir partai koalisi pendukung Anies rentan bubar dan membuat Pemilu berpotensi terkonsentrasi pada kubu Prabowo versus kubu Ganjar. Jika itu terjadi, maka demokrasi kita merosot drastis. Albert Weale (2006) mengatakan, Pemilu yang diikuti satu calon tidak bisa dikaitkan dengan nilai-nilai demokratis. Dengan kalimat yang lain, dapat diartikan semakin sedikit calon maka semakin sedikit nilai demokratis yang terkandung di dalamnya.

Walau pun kita melihat Prabowo dan Ganjar berasal dari dua kubu berbeda, namun sejatinya memiliki latar belakang yang sama. Yaitu sama-sama pejabat publik. Prabowo dan Ganjar bisa dibilang adalah dua calon yang sama, mewakili kelas sosial pejabat publik. 

Sedangkan Anies, satu-satunya bakal Calon Presiden yang saat ini merepresentasikan warga non-pejabat publik. Oleh sebab itu, maka hanya dengan bertahannya koalisi partai pendukung Anies akan lahir dua calon yang memiliki latar belakang berbeda: calon dari warga yang tanpa kekuasaan versus calon dari warga yang memiliki kekuasaan jabatan publik.

Baca juga : Pentingnya Membangun Kompetensi 5C Pada Periode Emas Demi Masa Depan Anak

Pemilu Kompetitif

Pasal 6A ayat (4) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyebutkan, “Dalam hal tidak ada pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh rakyat terbanyak dilantik sebagai presiden dan wakil presiden”. 

Pasal ini menyiratkan adanya peluang pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) dua putaran. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 50/PUU-XII/2014 menegaskan dua kali putaran dalam pilpres hanya mungkin terjadi jika minimal terdapat tiga pasangan calon. Jika hanya ada dua kandidat calon yang maju, maka hal itu menutup peluang pelaksanaan Pemilu dua kali putaran.

Semangat Pemilu yang kompetitif juga jelas terbaca dalam ketentuan pasal 229 ayat (2) Undang-Undang (UU) Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal ini memerintahkan KPU untuk menolak pendaftaran pasangan calon yang diajukan oleh gabungan seluruh partai politik peserta Pemilu, atau gabungan partai politik peserta pemilu yang menyebabkan partai politik peserta Pemilu lainnya tidak dapat mendaftarkan pasangan calon. Pemilu di Indonesia dengan demikian tidak mungkin hanya diikuti oleh calon tunggal.

Meski demikian, tantangannya muncul melalui konsep Presidential Threshold. Kita tahu UU Pemilu menetapkan Presidential Threshold sebesar 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen dari suara sah Pemilu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) secara nasional. Konsep tersebut membuat pemilu paling banyak diikuti oleh lima koalisi partai politik. Itu berarti paling banyak lima kandidat pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden. 

Catatan kritisnya adalah, tidak ada aturan batas minimal dan maksimal koalisi partai. Sehingga partai-partai politik dapat dengan mudah terkonsentrasi pada dua kandidat pasangan calon. Potensi ini yang kini terlihat terjadi pada Pemilu 2024.

Indonesia tentu tidak ingin mengulang sejarah saat pemilunya menjadi bahan tertawaan. Dahulu banyak orang memandang, peserta pemenang Pemilu di Indonesia sudah diketahui dan sudah diputuskan. Bahkan sebelum Pemilu itu diselenggarakan. 

Baca juga : APBN 2024 Dirancang Optimistis Dan Hati-hati

Fenomena itu terjadi karena mereka yang bersaing dalam Pemilu adalah mereka yang berkuasa. Bukan tidak mungkin praktik demokrasi Indonesia akan kembali menjadi lelucon dunia apabila partai koalisi pendukung Anies Baswedan bubar, kemudian terkonsentrasi terbatas hanya pada dua kandidat pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden.

Pemilu Adil

Pemilu yang adil dalam perspektif demokrasi diartikan sebagai kesetaraan/ perlakuan dan fasilitas yang sama bagi pemilih maupun bagi para kandidat Calon Presiden.

 Di Indonesia, salah satu cara memastikan kesetaraan itu adalah dengan memberi syarat pada pejabat negara yang dicalonkan oleh Partai Politik peserta Pemilu sebagai Calon Presiden atau Calon Wakil Presiden harus mengundurkan diri dari jabatannya. Syarat itu tertulis dalam pasal 170 ayat (1) UU Pemilu. 

Namun, keharusan mundurnya pejabat negara ini oleh MK dianggap tidak berlaku bagi pejabat negara yang memperoleh persetujuan dan izin cuti dari Presiden. MK juga menambah tegas yang dimaksud dalam pengaturan ini termasuk di dalamnya adalah Menteri dan Kepala Daerah. 

Dengan kata lain, Menteri atau Kepala Daerah dapat menjadi Calon Presiden atau Calon Wakil Presiden dengan mengajukan cuti dan persetujuan Presiden saja. Jika kalah, mereka dapat kembali aktif dalam jabatannya masing-masing.

Ayat (2) Pasal 170 UU Pemilu mengatur pengunduran diri atau cuti pejabat negara yang dicalonkan tersebut dilakukan paling lambat saat didaftarkan sebagai Calon Presiden atau Calon Wakil Presiden di KPU. Berdasarkan Peraturan KPU Nomor 3 tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilu Tahun 2024 maka cuti atau pengunduran diri harus dilakukan paling lambat tanggal 19 Oktober 2023.

Baca juga : Pengamat Nilai Maksud Jokowi Sosok Yang Mampu Berlari Kencang Adalah Ganjar

Bagi para kandidat, kata “paling lambat” dalam aturan tersebut  berarti memberi pilihan. Apakah mereka akan memilih memanfaatkan sebanyak-banyaknya fasilitas jabatannya untuk “kampanye” atau memilih menjaga kesetaraan sebagai salah satu prinsip demokrasi dengan secepatnya mengundurkan diri atau cuti dari jabatannya. Pilihan itu, kini ada di tangan Ganjar dan Prabowo.

Kata “paling lambat” dalam aturan tersebut juga berarti pilihan bagi KPU. Membiarkan ketidaksetaraan itu berlangsung lama atau mempersingkatnya. KPU dapat menyingkat ketimpangan itu dengan memajukan jadwal pendaftaran Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden.

Teknisnya dengan melakukan perubahan atau membuat PKPU baru. Payung besar hukumnya pasal 226 UU Nomor 7 tahun 2017 yang mengatur bahwa masa pendaftaran bakal Calon Presiden paling lama adalah 8 bulan sebelum hari pemungutan suara.


Zuhad Aji Firmantoro
Zuhad Aji Firmantoro
Zuhad Aji Firmantoro adalah dosen tetap Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.