Dark/Light Mode

Ini Kata Gerindra Soal Pro Kontra Putusan MK Tentang Syarat Usia Capres-Cawapres

Jumat, 27 Oktober 2023 13:31 WIB
Jubir Gerindra Bidang HAM dan Konstitusi Munafrizal Manan (Foto: Antara)
Jubir Gerindra Bidang HAM dan Konstitusi Munafrizal Manan (Foto: Antara)

RM.id  Rakyat Merdeka - Juru Bicara Partai Gerindra Bidang HAM dan Konstitusi, Munafrizal Manan menyampaikan pandangannya soal pro dan kontra terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) RI tanggal 16 Oktober 2023 atas Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 perihal pengecualian syarat batas minimal usia calon presiden dan wakil presiden.

Seperti diketahui, putusan MK ini memicu munculnya laporan dugaan pelanggaran etik terhadap semua hakim konstitusi dan dibentuknya Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK).

Munafrizal berpendapat, setiap perkara yang diadili dan diputus oleh setiap lembaga peradilan, termasuk oleh MK, selalu menimbulkan pro dan kontra. Akan selalu ada pihak yang merasa puas, dan tidak puas. Sebijaksana dan seadil apa pun para hakim menjatuhkan putusan, tetap akan ada pihak yang gembira dan kecewa atas putusan itu.

“Hampir tidak ada putusan lembaga peradilan yang dapat memuaskan semua pihak,” kata Munafrizal dalam keterangannya, Jumat (27/10/2023).

Menurutnya, sifat asli kewenangan MK, termasuk wewenang pengujian Undang-Undang, berkaitan erat dengan dimensi politik. Sehingga, penilaian orang terhadap putusan MK akan dipengaruhi oleh kecenderungan persepsi, preferensi, dan kepentingan politik orang yang menilainya. Keadilan konstitusional tidak bersifat tunggal. Rasa keadilan konstitusional publik dapat berbeda-beda.

Baca juga : KPU Putuskan Revisi PKPU Usia Capres Dan Cawapres

Sembilan hakim konstitusi, kata Munafrizal, adalah simbol sembilan jalan keadilan konstitusional. Sembilan hakim konstitusi merupakan cerminan artikulasi keadilan konstitusional publik yang berbeda-beda.

Peneliti, pengkaji, dan penulis isu-isu seputar Mahkamah Konstitusi dan hukum konstitusi ini menegaskan, putusan MK bersifat final dan mengikat. Karena itu, puas atau tidak puas, putusan itu harus dihormati secara keseluruhan.

“Kita harus menghormati putusan para hakim konstitusi yang mengabulkan, dan juga harus menghormati para hakim konstitusi yang berbeda pendapat (dissenting opinion),” ujar Munafrizal.

“Setiap hakim konstitusi mempunyai independensi yang sama untuk menjatuhkan putusan mengabulkan atau menolak. Pilihan untuk mengabulkan atau menolak antara lain berdasarkan pada keyakinan hakim, dan tiap-tiap hakim konstitusi merdeka untuk untuk memiliki keyakinan itu,” imbuhnya.

Putusan Final dan Mengikat

Munafrizal menerangkan, MK merupakan lembaga peradilan tingkat pertama dan terakhir, yang putusannya bersifat final dan mengikat. Sehingga, tidak ada upaya hukum yang tersedia untuk menilai putusan MK tidak sah dan kemudian membatalkannya.

Baca juga : Mardani Ali Sera: MK Tak Amanatkan Perubahan Jadwal

“Wacana tentang putusan MK tidak sah dan dapat dibatalkan, tidak memiliki dasar hukum kuat,” ucap Munafrizal.

Dia pun menyoroti ketentuan Pasal 17 ayat (5) dan (6) UU Kekuasaan Kehakiman perihal hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan, apabila hakim mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa.

Menurutnya, hal itu sulit dijadikan dasar hukum untuk membatalkan putusan MK yang bersifat final. Sebab, ada konflik norma hukum antara ketentuan hukum yang lebih tinggi dan ketentuan hukum yang lebih rendah.

“Dasar hukum sifat putusan MK yang final itu adalah UUD NRI Tahun 1945. Menurut hierarki peraturan perundang-undangan, kedudukan UUD NRI Tahun 1945 lebih tinggi daripada UU Kekuasaan Kehakiman. Tidak dapat dan tidak boleh hukum lebih rendah menganulir hukum lebih tinggi,” jelas Munafrizal, yang juga mantan peneliti di Mahkamah Konstitusi.

Lagi pula, menurutnya, tidak ada ketentuan yang mengatur tentang prosedur dan mekanisme memeriksa ulang perkara yang telah diputus dan membatalkan putusan MK.

Baca juga : Prabowo Jelaskan Makna Naik Rantis Maung Saat Pendaftaran Capres-Cawapres Ke KPU

Ketentuan Pasal 17 ayat (5) dan (6) UU Kekuasaan Kehakiman in concreto hanya dapat dilaksanakan untuk lembaga-lembaga peradilan di lingkungan Mahkamah Agung, yang sifat putusannya tidak serta-merta final. Karena ada hierarki kelembagaan bertingkat (pertama, banding, kasasi, dan peninjauan kembali).

Tidak ada ketentuan dalam UUD NRI Tahun 1945, UU Mahkamah Konstitusi, dan Peraturan Mahkamah Konstitusi tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang di MK, yang mengatur prosedur dan mekanisme pemeriksaan ulang dan putusan ulang atas perkara yang sudah diputus para hakim konstitusi dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH).

Putusan itu sudah diucapkan dalam Sidang Pengucapan Putusan. Setiap lembaga peradilan, termasuk MK, wajib mempedomani hukum acara yang berlaku sebagaimana mestinya, dalam menangani perkara.
 Selanjutnya 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.