Dark/Light Mode

Media Bisa Berperan Aktif Menangkal Polarisasi

Senin, 4 Desember 2023 20:16 WIB
Foto: Ist
Foto: Ist

RM.id  Rakyat Merdeka - Formasi Indonesia Moeda kembali menggelar diskusi bertajuk “Potensi Polarisasi Antara Kelompok Nasionalis Vs Nasionalis, Satu Putaran Jadi Solusi?”.

Diskusi diadakan di Lounge Room, Universitas Nasional (UNAS), Senin (4/12/2023).

Koordinator Nasional (Kornas) Formasi Syifak Muhammad Yus menyampaikan pada dasarnya, polarisasi adalah sesuatu yang sehat dan alami.

Karena apabila tidak ada partai politik dan pilihan capres dan cawapres yang berbeda, maka masyarakat tidak akan memiliki pilihan.

Hanya saja, yang harus dihindari adalah polarisasi yang membelah sesama anak bangsa.

Namun, menurutnya polarisasi dalam kompetisi politik kerap dianggap sebagai bagian dari pertarungan hidup dan mati.

“Tentu kita masih ingat bagaimana kerasnya polarisasi yang terjadi selama proses pemilihan Gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta pada tahun 2017 silam, antara pendukung pasangan Anies-Sandi dengan pendukung pasangan Ahok-Djarot,” ujar Syifak dalam paparannya, di Jakarta.

Menurutnya, polarisasi terjadi antara kelompok nasionalis yang diisi oleh pendukung Ahok-Djarot dengan kelompok agamis yang di dalamnya terdiri dari pendukung Anies-Sandi.

“Polarisasi itu terjadi hingga akar rumput, terjadi di perkampungan, komplek, bahkan hingga di gang-gang sempit perkampungan,” sambungnya.

Baca juga : Perlu Kolaborasi Aktif untuk Tingkatkan Literasi

Parahnya lagi, kata Syifak polarisasi itu terjadi bukan hanya di DKI Jakarta.

Namun juga, sampai ke daerah lain yang dekat Jakarta dan masih berlanjut. Bahkan, setelah Pilgub DKI Jakarta selesai.

Hal itu menjadi catatan kelam bagi demokrasi bangsa Indonesia. Fenomena itu menunjukkan bahwa demokrasi kita masih belum sehat.

“Dalam Sejarah politik Indonesia, Polarisasi pernah terjadi pada tahun 1965 antara kelompok nasionalis dengan nasionalis. Pada tahun tersebut, terjadi gencatan senjata antar kedua kelompok yang sama. Keduanya sama-sama mengatasnamakan nasionalisme," urainya.

“Yang kedua, polarisasi antara kelompok nasionalis dengan nasionalis juga terjadi tahun 1998. Masyarakat terpecah belah akibat polarisasi itu. Bahkan telah menimbulkan korban jiwa atas polarisasi yang terjadi pada masa itu,” bebernya Syifak.

Syifak mengatakan, Pilpres 2019 antara Jokowi vs Prabowo juga menjadi catatan tersendiri.

Masyarakat pendukung Prabowo dengan pendukung Jokowi terbelah hingga akar rumput.

Polarisasi ini terjadi lantaran hanya ada dua pasang calon yang mengikuti kontestasi Pilpres di 2014 dan 2019. Artinya, polarisasi itu mutlak terjadi.

Pilpres 2024 yang diikuti oleh tiga pasang calon, juga berpotensi hal yang sama.

Baca juga : Survei Y-Publica: Prabowo-Gibran Berpotensi Menang Satu Putaran

Polarisasi ini diprediksi akan terjadi tidak hanya antara kelompok islamis dengan kelompok nasionalis.

Namun juga, berpotensi terjadi antara kelompok nasionalis dengan kelompok nasionalis seperti yang terjadi pada tahun 1965 dan tahun 1998.

“Kita bisa melihat bagaimana pertarungan di media sosial antara pendukung Anies-Muhaimin, pendukung Prabowo-Gibran, dan pendukung Ganjar-Mahfud. Berbeda dengan pendukung pasangan Anies-Muhaimin yang banyak diisi oleh kalangan agamis, pendukung pasangan Prabowo-Gibran dan Pasangan Ganjar-Mahfud diisi mayoritas oleh kalangan kelompok nasionalis,” imbuhnya.

Syifak mengatakan, polarisasi itu terlihat bagaimana keduanya telah mengibarkan bendera perang di dunia maya.

Psywar dilakukan terus menerus tanpa henti. Saling menjatuhkan, saling memfitnah, dan saling melempar isu yang sebenarnya usang.

“Belajar dari sejarah polarisasi yang terjadi di Indonesia, bahwa polarisasi bisa terjadi apabila hanya ada dua pilihan yang berbeda, termasuk yang terjadi di DKI Jakarta tahun 2017, ketika dua putaran,” ungkapnya.

Oleh karena itu, melihat fenomena ini harus dihindari agar apa yang terjadi pada masa-masa kelam itu tidak terulang kembali di kemudian hari.

Sebab yang dirugikan sepenuhnya adalah rakyat. Bukan elit-elit politik atau relawan pendukung para kandidat.

“Karena itu, penting bagi pemerintah untuk membangun dan memperkuat narasi kebangsaan di tengah masyarakat, sehingga kepentingan nasional tidak dikalahkan oleh kepentingan politik praktis,” urainya.

Baca juga : Sapujagad Siap Antarkan Ganjar-Mahfud Menang Satu Putaran

Selain itu, Syifak berharap, Pemilu satu putaran dapat menjadi salah satu solusi karena dapat mereduksi polarisasi. Selain itu, satu putaran juga dapat menghemat anggaran.

“Potensi polarisasi itu ada kita melihat karena perdebatan hari ini masih berputar di individu calon belum menyentuh visi misi dari calon, bukan visi misi yang dibahas atau program melainkan personal,” paparnya.

Syifak pun menyampaikan, peran media juga sangat penting menjaga demokrasi serta mencerdaskan masyarakat untuk menetralisir sebaran berita hoax yang dapat menimbulkan perpecahan dan mengoyak persatuan.

“Jangan sampai kemudian media ikut menjadi corong penyebar hoax,” ingatnya.

Hadir dalam diskusi tersebut anggota DPR RI Fraksi Golkar, Bobby Adhityo Rizaldi dan Direktur Eksekutif Survei And Polling Indonesia (SPIN) Igor Dirgantara.

Juga, Dosen Universitas Nasional (UNAS) Nurtsatyo, dan peneliti Lab. Fisipol UI dan Psikologi Universitas Syiah Kuala (USK) Nudzran Yusra.

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.