Dark/Light Mode

Soal Pencalonan Gibran, Yusril: KPU Tak Lakukan Pelanggaran Etik Apa Pun

Minggu, 24 Desember 2023 10:44 WIB
Ketua Tim Pembela Prabowo-Gibran, Yusril Ihza Mahendra  (Foto: Instagram)
Ketua Tim Pembela Prabowo-Gibran, Yusril Ihza Mahendra (Foto: Instagram)

RM.id  Rakyat Merdeka - Ketua Tim Pembela Prabowo-Gibran, Yusril Ihza Mahendra memastikan, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak melakukan pelanggaran etik apa pun, dalam memproses pencalonan Gibran sebagai Cawapres dalam Pilpres 2024.

Hal itu disampaikan Yusril, saat menanggapi laporan Demas Brian Sicaksono, PH Hariyanto dan Rumondang Damanik kepada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang mulai bersidang pada Jumat (22/12/2023).

Ketiganya menyebut para Komisioner KPU membiarkan Gibran mengikuti proses tahapan pencalonan, dengan mengabaikan prinsip kepastian hukum.

Tak cuma itu, para Komisioner KPU juga dinilai telah berlaku sewenang-wenang, karena telah menetapkan Gibran sebagai cawapres pendamping Prabowo.

Padahal, Komisioner KPU mengetahui, batas usia pasangan capres pada saat proses pencalonan adalah 40 tahun.

KPU baru mengubah peraturan itu setelah proses pencalonan selesai.

Para pelapor menyatakan, tindakan terlapor bertentangan dengan prinsip kepastian hukum, yang secara imperatif diperintahkan oleh Pasal 11 huruf a Peraturan DKPP No. 2/2017 tentang Kode Etik Penyelenggaraan Pemilu.

Norma etik yang dijadikan dalil para Pelapor adalah Pasal 11 huruf a Peraturan DKPP.

Ketentuan tersebut memberikan kewajiban etik kepada komisioner KPU, untuk melakukan tindakan dalam rangka penyelenggaraan Pemilu, yang secara tegas diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan.

Sementara Peraturan KPU (PKPU) mengatur secara tegas syarat capres dan cawapres, harus berusia minimal 40 tahun.

Karena peraturan yang bersifat tegas itu belum diubah dan KPU tetap memproses pencalonan Gibran yang belum berusia 40 tahun, para pelapor mendalilkan para Komisioner KPU telah melakukan pelanggaran etik.

Baca juga : Debat Cawapres, Gibran Berhasil Yakinkan Pemilih Yang Sempat Ragu

Para pelapor pun memohon DKPP, untuk menjatuhkan sanksi etik berupa pemberhentian sebagai Komisioner KPU.

Persoalan Mendasar 

Yusril yang juga Pakar Hukum Tata Negara dan Filsafat Hukum mengatakan, persoalan mendasar bagi DKPP untuk menilai ada tidaknya pelanggaran etik atas norma Pasal 11 huruf a Peraturan DKPP tersebut adalah menafsirkan kata “secara tegas diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan”.

Kalau “secara tegas” ditafsirkan secara limitatif pada PKPU, dalil tersebut seolah nampak benar adanya.

Peraturan KPU secara tegas menyebutkan, pendaftaran cawapres bisa diproses jika telah berusia 40 tahun ke atas.

Jika proses tetap dilanjutkan, maka para komisioner bisa dikenai sanksi hukum administrasi, di samping sanksi etik.

"Tetapi, tafsir atas pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak dapat dibatasi hanya pada PKPU saja. Di atas PKPU masih ada Peraturan Pemerintah (PP), Undang-Undang (UU), dan UUD 1945," jelas Yusril dalam keterangannya, Minggu (24/12/2023).

Tindakan Aktif

Yusril menambahkan, langkah KPU memproses pencalonan Gibran, bukanlah suatu pembiaran yang merupakan tindakan pasif.

Menurutnya, langkah tersebut merupakan suatu tindakan aktif. Atas dasar Putusan Mahkamah Konstitusi No. 90/PUU-XXI/2024, yang telah mengubah ketentuan Pasal 117 UU Pemilu.

Terbentur Jadwal Tahapan Pemilu

Usia capres dan cawapres telah dimaknai MK boleh berusia di bawah 40 tahun, jika calon tersebut pernah dan/atau sedang menjabat dalam jabatan yang dipilih melalui Pemilu, termasuk Pilkada.

Putusan MK itu berdasarkan Pasal 24C UUD 1945, yang menyatakan bahwa Putusan MK bersifat final dan berlaku serta merta sejak diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.

Baca juga : Imin Tak Tahu Soal SGIE, Gibran: Maaf Kalau Pertanyaannya Sulit

Dengan adanya Putusan MK tersebut, norma Pasal 169 huruf q UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu berubah sejak tanggal tersebut, tanpa harus menunggu Presiden dan DPR mengubah UU Pemilu.

"KPU memang belum dapat mengubah peraturannya sendiri, karena terbentur jadwal tahapan Pemilu yang harus dipatuhi. Selain itu, perubahan PKPU memerlukan konsultasi dengan DPR. Dan ketika itu, DPR sedang reses," papar Yusril.

Dalam situasi seperti itu, lanjutnya, KPU tidak punya pilihan. Kecuali, melaksanakan Putusan MK dan mengabaikan PKPU yang dibuatnya sendiri.

Putusan MK mempunyai kedudukan yang setara dengan UU, sehingga kedudukannya lebih tinggi dari PKPU.

Dalam konteks seperti itu, KPU memilih untuk menaati Putusan MK, yang kedudukannya lebih tinggi dari PKPU.

"Kalau KPU menaati peraturannya sendiri (yang belum diubah) dan mengabaikan Putusan MK, KPU malah melanggar prinsip kepastian hukum. Sebagaimana diperintahkan Pasal 11 huruf a Peraturan DKPP No. 2/2017 dan mengacaukan tahapan-tahapan pelaksanaan Pemilu," terang Yusril.

"Tindakan ini justru dapat dikategorikan sebagai pelanggaran etik dan bisa dijatuhi sanksi pemecatan oleh DKPP," imbuhnya.

Yakin DKPP Menolak

Dengan latar belakang seperti itu, Yusril meyakini, DKPP akan menolak laporan Demas Brian Wicaksono, Imam Munandar dan Rumondang Damanik karena sama sekali tidak beralasan hukum dan beralasan etik.

KPU telah melaksanakan proses pencalonan Gibran berdasarkan Putusan MK. Hal itu, tegas Yusril, telah sesuai dengan prinsip kepastian hukum.

Seluruh Komisioner KPU tidak melakukan pelanggaran etik apa pun, sebagaimana didalilkan oleh para pelapor.

Baca juga : Cegah Penyalahgunaan, Menkominfo Budi Arie Terbitkan Pedoman Etika AI

Yusril juga menegaskan, Tim Pembela Prahowo-Gibran tidak akan maju sebagai pihak dalam perkara etik yang sedang diperiksa DKPP.

"Kami maju sebagai Tergugat Intervensi dalam gugatan Perbuatan Melawan Hukum di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, perihal yang hampir sama dengan apa yang sedang diperiksa oleh DKPP," tutur Yusril.

Dia memastikan, Prabowo dan Gibran juga tidal akan menjadi pihak dalam perkara etik ini.

Yusril menekankan, perkara etik tidak sama dengan perkara hukum.

Perkara etik, mengadili pelanggaran etik yang diduga dilakukan oleh komisioner KPU sebagai pribadi-pribadi. Sehingga, sanksi yang dijatuhkan hanya mengenai orang yang diadili, dan tidak berimplikasi kepada pihak lain.

Beda dengan perkara hukum, yang mengadili pelanggaran hukum. Ini bisa berimplikasi kepada pihak lain yang tidak diadili.

"Lagi pula, Peraturan DKPP No. 2/2017 tidak membuka peluang pihak ketiga untuk masuk ke dalam proses pemeriksaan perkara pelanggaran etik," tegas Yusril.

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.