Dark/Light Mode

Di Balik Panggung Politik Dangdut

Rabu, 26 Juni 2024 08:08 WIB
Foto Ilustrasi: msn.com
Foto Ilustrasi: msn.com

  • “Musik dangdut dan masyarakat punya kedekatan secara historis. Dangdut pun mempunyai hubungan unik dalam proses politik di Indonesia”.

Musik dangdut tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat penggemarnya di Indonesia. Bahkan, genre musik dangdut, banyak jadi pilihan politisi, partai politik dan pilpres dalam aksi pagelaran kampanye politiknya. Dalam rentang ruang dan waktun musik dangdut punya peranan beserta pengaruhnya tersendiri. Kehadirannya sebagai wujud budaya ekspresif, media komunikasi estetis bahkan etik, yang mempengaruhi aspek psikologis, sosial dan politik. Lirik-lirik lagunya merupakan sebuah refleksi interaksi simbolik yang dapat digunakan sebagai sarana pencerahan berdemokrasi. 

Dalam Industri budaya populer, musik dangdut identik dengan fetisisme. Masyarakat konsumen dibajak dalam kesadaran palsu yang bersifat ilusif. Pembakuan beragam jenis musik merupakan sebuah rekayasa estetis menjadi satu barang dagangan yang karakteristiknya ditentukan oleh pangsa pasar dan dikendalikan para pemilik modal.

Sejarah musik dangdut berakar dari musik Melayu 1940-an, yang sangat kental unsur musik dari India dan Arab. Kepopuleran musik dangdut makin melambung pasca Soneta Group muncul di akhir 1970-an. Rhoma Irama sebagai komando dengan julukannya Sound of Moslem dan Raja Dangdut. Bahkan, kepopulerannya memicu reaksi negatif beberapa musisi-musisi di luar musik dangdut. Mereka beranggapan dangdut sebagai musik kampungan, musik kalangan bawah atau musik rakyat miskin.

Keberpihakan Politis

Baca juga : Uang Kuliah Mahal Dan Politik Pendidikan 

Meskipun dianggap musik kampungan, dangdut sebagai cabang seni berpotensi menjadi media menyampaikan pesan. Dalam pertunjukannya, kapabilitas musikalitasnya dipertaruhkan untuk mengimbangi idealisme orasi politik yang sarat keberpihakan politis. Musik dangdut memiliki pengaruh, pesonanya tersendiri, menjadi penghantar partisan di setiap pertunjukan kampanye-kampanye politik. 

Lantunan vokal biduan (artisnya), irama gendang dan aktraktifnya goyangan tubuh dalam setiap aksi pertunjukannya seakan mampu menggiring massa menjadi sebuah cita-rasa tersendiri bagi penontonnya. Musik dangdut pun dapat menjadi ritual pelampiasan masyarakat atas persoalan himpitan hidup dalam kesenjangan lingkungan sosialnya. 

Pertunjukan dangdut dalam kampanye politik di Indonesia seperti menjadi kelaziman, meskipun peranannya dalam dunia politik ada perubahan. Seperti, biduannya menjadi brand ambassador partai politik tertentu. Kepopuleran musik dangdut pun dimanfaatkan pada setiap hajat kampanye politik sebagai penarik simpati publik, pengumpul massa dan unjuk kekuatan massa. Bahkan, tudingan sebagai alat politik pun selalu menudungi setiap aksi pertunjukannya.

Keterlibatan budaya popular dan penggunaan musik popular di setiap kampanye politik hampir rata-rata di manapun selalu digunakan. Seperti kampanye Donald Trump dan Hillary Clinton pada 2016 di USA, meskipun terdapat perbedaan signifikan dalam pemilihan genre musik mereka. Donald Trump mewakili Partai Republik yang berkecenderungan konservatif memilih genre musik yang berbau orchestra bahkan cenderung berbau militer untuk mengenalkan nilai-nilai patriotisme Amerika pada masyarakatnya. Hillary Clinton, cenderung menggunakan musik modern yang agak dinamis, cenderung bahagia dan lebih mengarah ke humanis, sesuai dengan penanda Partai Demokrat yang lebih liberal. 

Musik merupakan alat menciptakan ruang publik sebagai ekspresi masyarakat dalam partisipasi politiknya. Meskipun tidak semua jenis musik bisa digunakan pada kampanye politik, sebab ada penyesuaian tema, tempat, visi-misi dari kepentingan kampanye politiknya.

Baca juga : NasDem Usung Ponakan Paloh

Daya tarik musik dangdut juga pernah dimanfaatkan oleh Lestari Moerdijat, caleg DPR RI dapil 2 Jawa Tengah (Kabupaten Demak, Kudus dan Jepara) pada Pileg 2019 dari Partai Nasional Demokrat sebagai media kampanye yang berhasil mendulang sukses dan menghantarkannya menjadi Anggota DPR RI. Meskipun strategi-taktiknya tidak hanya memanfaatkan dangdut sebagai hiburan, kegiatan sosial lain juga digunakan sebagai mesin pendulang suara pemilihnya.

Mobilisasi Massa dan Pendidikan Politik

Pemilihan strategi politik yang memanfaatkan musik dangdut merupakan olah pemikiran untuk menggapai tujuan dengan langkah-langkah taktis yang diselaraskan dengan kondisi, situasi di lapangannya. Strategi politik ini, dapat diterapkan pada kondisi, waktu, tempat tertentu, jika segmentasinya bertujuan mengindentifikasi pemilih potensialnya, loyalisnya, ideologi politik dari simpatisannya. Sebab, karakteristik setiap masyarakat akan membutuhkan metode pendekatan berbeda-beda.

Pemilu dengan musik dangdut seperti tak dapat terpisahkan, ibarat sayur tanpa garam, berasa hambar. Dalam hajatan kampanye politik dengan panggung musik dangdut, masih begitu relevan dan strategis sebagai alat memobilisasi massa agar tergerak sadar ataupun tidak, ikut menghadiri kampanye politik. Dangdut pun telah memberikan napas sejarah kehidupan politik Indonesia yang identik dengan narasi goyangan dangdut dalam setiap aksipanggungnya. 

Objek pagelaran musik dangdut dalam kampanye politik secara umum disambut baik sebagai media hiburan yang membuat massa tertarik mengikuti. Meski sebagai nukilan, musik dangdut punya andil membangun penekanan narasi politik dalam hajat demokrasi elektoral. Meskipun tereksploitasi sementara secara artifisial, dangdut akan selalu menyapa pada setiap kampanye politik. Suara bolehlah sumbang. Para politisi bolehlah memberikan janji-janjinya. Namun goyangan dangdut, takkan tergantikan. 

Baca juga : Robi Darwis Kembali Ke Pangkuan Maung Bandung

Ironisnya, bila masyarakat itu datang demi menonton biduan (artis) dangdutnya, bukan dorongan urgensinya berpolitik secara ideologis, orasi-orasi politik pun terkadang jadi tidak penting dan cenderung diabaikan. 

Dangdut bukan sekadar bergoyang dengan irama musiknya. Dangdut pun kini jadi pigmen tersendiri dalam politik elektoral. Bisa jadi, dangdut politik yang kini tengah diperagakan merupakan potret labilnya demokrasi. Sebab, demokrasi kita masih bisa digoyang dengan politik uang.

Upaya mewujudkan persepsi positif atas keintiman musik dangdut dengan politik di masyarakat harus dilakukan. Memberi kontinuitas pemahaman secara sistematik, terstruktur, komunikatif serta membangun dialog, menjadikan masyarakat sebagai subjek (bukan objek) demi substansi nilai-nilai demokrasi dan pendidikan politik tataran infrastruktur, suprastruktur politik dari pusat hingga daerah, menyebar ke semua lapisan masyarakatnya secara lebih meluas guna memperkokoh kesinambungan demokrasi di Indonesia. 

Termasuk, dengan menghadirkan masyarakat terlibat langsung aktif sebagai pendidikan politik pada level grassroots melalui program kerja politik, ideologi yang ditawarkan secara lebih faktual, utuh, dengan dialog interaktif. Juga, berperan aktif mendewasakan perilaku masyarakatnya untuk berpartisipasi politik, dan musik dangdut sebagai interaksi simbolik yang mempersatukan nilai-nilai universal kehidupan berbangsa. Bukan mereduksinya sebatas kontestasi atau pun kemasan politik sebagai mesin pendulang suara di setiap aksi panggung kampanye politiknya. Semoga.  

noufal riri hananta
noufal riri hananta
Arsitek profesional, Penulis dan Pemerhati Sosial-Politik-Budaya

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.