Dark/Light Mode

Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
Anies & Muhaimin
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
Prabowo & Gibran
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
Ganjar & Mahfud
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU

Di Laut, Kita Jaya, Bukan Ditindas

Selasa, 12 Mei 2020 02:23 WIB
SUPRATMAN
SUPRATMAN

RM.id  Rakyat Merdeka - Apakah Indonesia hanya sekadar mengutuk tindakan tidak manusia terhadap pelaut Indonesia di kapal Tiongkok?

Tentu tidak. Perlu ada tindak lanjut yang jelas dan tegas. Kalau tidak, pelaut Indonesia akan selamanya mendapat perlakuan tidak manusiawi di kapal-kapal asing. Jangan sampai ini bisa menjadi ironi bagi negeri yang “nenek moyangnya seorang pelaut”.

Pemerintah Indonesia perlu melanjutkan ke tingkat diplomasi yang serius. Bukan hanya sekadar menuntaskan persoalan yang menimpa pelaut atau Anak Buah Kapal (ABK) Indonesia yang sekarang viral, tapi secara konsisten membenahi nasib pelaut dan sumber daya laut Indonesia. Bukan sekadar tambal sulam.

Saat ini, jumlah pelaut Indonesia yang bekerja di luar negeri sekitar 400.000 orang. Mereka bekerja di perusahaan perikanan internasional, termasuk di kapal-kapal Tiongkok.

Baca juga : Koordinasi, Bukan Saling Serang

Kabar mengenai jenazah pelaut Indonesia yang dilarung di laut oleh kapal Tiongkok dan diperlakukan tidak manusia, tak cepat mendapat perhatian publik Indonesia. Ini cukup disayangkan.

Berita tersebut awalnya dilaporkan oleh stasiun TV Korea Selatan. Berita kian tersebar dan menyentak publik setelah salah seorang Youtuber Korea yang populer di Indonesia, Jang Hansol, melaporkan dan menerjemahkan berita di TV Korea tersebut.

Para pelaut tersebut diperlakukan tidak manusiawi. HAM-nya disingkirkan. Mereka harus minum air laut yang difilterasi sementara pelaut Tiongkok minum air mineral. Mereka mendapat makanan yang sudah lebih setahun berada di lemari pendingin.

Mereka bekerja 18 jam sehari yang sebagian besarnya dilakukan dalam posisi berdiri. Dengan kondisi yang parah tersebut, sebagian besar nelayan atau pelaut tidak dibayar sama sekali atau tidak menerima jumlah yang disepakati di awal kerja.

Baca juga : Hati-hati Krisis Pangan

Wajar kalau mereka kelelahan, sakit, bahkan ada yang meninggal. Yang sakit tak diurus selayaknya; yang meninggal, jenazahnya dilarung di keheningan laut Samudera Pasifik yang luas.

Setelah 13 bulan berlayar, mereka kemudian bersandar di Busan, Korea Selatan. Mereka bisa melepaskan diri dan akhirnya mendapat liputan media Korea. Otoritas Korea kemudian melakukan investigasi.

Kalau Korea saja melakukan investigasi, Indonesia mestinya melakukan hal yang lebih dari itu. Tidak sekadar mengutuk. Tidak sekadar “memadamkan kebakaran”.

Kasus ini semestinya memicu Indonesia untuk lebih memperkuat dan melahirkan industri pelayaran, perikanan dan kelautann yang modern dan maju. Bukankah kita juga punya kementerian khusus kelautan dan perikanan?

Baca juga : Menakar Isu TKA China

Dengan menguasai dan berdaulat atas laut kita sendiri, pelaut (dan sumberdaya laut) Indonesia tidak dikuasai oleh para pelaut atau perusahaan asing. Di negeri dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia ini, nenek moyang kita, juga seorang pelaut. Di laut (mestinya) kita jaya, bukan ditindas dan “dijajah”.(*)

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.