Dark/Light Mode

Kebijakan Salah: Melenyapkan Burung

Minggu, 19 April 2020 06:09 WIB
SUPRATMAN
SUPRATMAN

RM.id  Rakyat Merdeka - Dari tujuh kebijakan fatal yang mempengaruhi sejarah, salah satunya melibatkan burung pipit. Burung ini “menunjukkan” bahwa info dan masukan yang keliru bisa berakibat fatal bagi para pengambil kebijakan. Korbannya, rakyat.

Ini terjadi di China. Tahun 1958 sampai awal 60-an. Para ilmuwan kerap menggunakan kasus ini sebagai “pengingat dan pelajaran bagi para pemimpin berikutnya”.

Saat itu, pemimpin China Mao Zedong dihadapkan pada masalah ekonomi dan kesehatan serius yang melanda negaranya. Dia kemudian merancang program membangkitkan ekonomi dan industrialisasi besar-besaran sepanjang 1958 sampai 1960. Namanya: Lompatan Jauh ke Depan. Salah satu programnya: Kampanye Empat Hama.

Baca juga : 405 T, Siti dan Kehati-hatian

Keempat hama ini; nyamuk, tikus, lalat, dan burung pipit atau burung gereja. Mereka didakwa melakukan pengkhianatan serius terhadap kesehatan masyarakat. Hewan-hewan ini dituduh menyebarkan malaria, pes, gangguan kesehatan lewat udara, serta pencurian benih dan biji-bijian. Vonisnya: hukuman mati.

Melalui propaganda menggunakan poster dan keterlibatan masyarakat secara besar-besaran, peperangan akhirnya berhasil dimenangkan. Hasilnya: 1,5 juta tikus dibasmi, 11.000 ton nyamuk dimusnahkan, 100.000 ton lalat lenyap, dan satu juta burung gereja terkapar.

Burung-burung itu banyak yang bergelaparan di tanah. Kenapa? Karena, para penduduk, terutama ibu-ibu, membunyikan drum (yang disediakan pemerintah) serta wajan dan panci penggorengan, secara serempak. Tujuannya, menghalau burung-burung itu supaya terus terbang sampai kelelahan, lalu jatuh ke tanah. Mati.

Baca juga : Perlu Lebih Transparan

Tetapi yang tidak disadari oleh Mao, burung-burung rupanya tidak hanya mencuri dan memakan biji-bijian, tetapi juga memakan serangga. Karena burung pipit dimusnahkan, populasi serangga berkembang sangat pesat. Mereka justru lebih berbahaya dari burung pipit. Akibatnya, China mengalami gagal panen dahsyat di seluruh negeri. Dampaknya, puluhan juta orang kelaparan, 20 juta hingga 45 juta jiwa meninggal.

Peristiwa ini dikenal sebagai kegagalan ekologis dan demografi, lewat suatu perencanaan pembangunan, yang menyakitkan dalam sejarah manusia. Belakangan, Mao tersadar. Dia kemudian mengumpulkan para ilmuwan. Mao meralat: perburuan burung pipit diganti kutu kasur atau bangsat. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Nyawa yang hilang tak bisa dikembalikan.

Para peneliti dunia kemudian mencatat, kegagalan ini, selain salah memilih target, burung pipit, juga salah kebijakan. Misalnya, mengarahkan hampir semua petani produktif ke sektor industri. Petani berkurang signifikan.

Baca juga : Nolak Jenazah dan Jabodetabek

Penyebab lainnya, karena ABS, Asal Bapak Senang. Para petugas lapangan dan daerah-daerah menyampaikan angka palsu lewat rekayasa statistik. Akibatnya, petinggi di Beijing mengira program ini berhasil. Yang terjadi justru sebaliknya. Ambyar. (*)

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.