Dark/Light Mode
RM.id Rakyat Merdeka - Bisakah Pilkada serentak ditunda? Idealnya, iya. Jangan dipaksakan. Kasus pendaftaran calon, 4-6 September lalu, yang tidak mematuhi protokol kesehatan, menjadi pelajaran sangat berharga. Pilkada serentak di masa pandemi berpotensi gawat darurat.
Bukan hanya pemilih yang berpotensi terpapar, bahkan Ketua Umum KPU dan anggota KPU pusat pun, terpapar Covid-19. Pasangan calon peserta pilkada juga tidak sedikit yang kena. Ada 60 orang. Ini alarm.
Hasil beberapa survei juga menyebutkan bahwa banyak masyarakat yang tidak ingin pilkada digelar. Mereka enggan ke TPS. Potensi kegawatannya tinggi.
Baca juga : Doni Minta Peserta Pilkada Patuhi Protok Kesehatan
Survei Charta Politika menyebutkan, hanya 34,9 persen pemilih yang siap ke TPS. Lembaga Indikator Politik, juga menghasilkan hal senada: mayoritas publik ingin pelaksanaan pilkada Desember ditunda. Sebanyak 63,1 persen respoden menyatakan sebaiknya ditunda, sedangkan 34,3 persen ingin tetap digelar Desember.
Survei tersebut digelar Juli lalu. Saat itu, pemerintah tetap ingin menggelar Pilkada. Salah satu alasannya, pilkada akan menggerakkan roda ekonomi masyarakat.
Apa hasilnya? Dua bulan kemudian, saat pendaftaran calon, 4-6 September, kerumunan tak terhindarkan, protokol kesehatan diabaikan, pasangan calon tak kuasa mengendalikan massanya.
Baca juga : Menko PMK Siapkan SDM Maju dan Berkualitas
Melihat kondisi ini, roda ekonomi yang diharapkan berputar saat pilkada, bisa menjadi dilema dan problem baru. Karena roda ekonomi tersebut bisa dipenuhi “lumpur kesehatan” sehingga mobilnya tak bergerak. Kalau masalah kesehatan meningkat, ekonomi menurun.
Ada alasan bahwa negara-negara lain juga menggelar pilkada nasional maupun lokal saat pandemi. Dan, mereka berhasil.
Singapura, Jerman, Perancis, dan Korea Selatan misalnya, memang sukses menggelar pemilu. Tapi mereka adalah negara-negara yang relatif sukses merespons pandemi Covid-19. Mereka mematuhi protokol kesehatan. Peserta pemilu juga sepakat bahwa kesehatan tetap yang nomor 1, politik nomor 2.
Baca juga : Ganjar Emang Nyeleneh
Di Indonesia, dimana masyarakatnya dihinggapi “politik mania”, dimana panggung hiburan kampanye menjadi sangat ramai dan meriah serta konvoi menjadi hiburan rakyat, potensi kegawatannya sangat tinggi.
Di Indonesia, bahkan para politisinya mungkin saja diam-diam menikmati keramaian itu, untuk menggambarkan bahwa pemilih mereka membludak. Untuk mempengaruhi pendapat para pemilih lain. Bahkan, melihat kerumunan itu, para politisinya masih bisa berdalih, “kami tidak mengundang mereka kok”. Duh!
Idealnya, pilkada serentak ditunda. Walau kita tampaknya terjebak karena keliru merespons dari awal, tapi nasi belum menjadi bubur. Bubur pun bisa dibikin enak dan sehat.(*)
Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News
Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.