BREAKING NEWS
 

Mari Bersabar, Puasa dan Lebaran di Rumah Saja...

Reporter & Editor :
FIRSTY HESTYARINI
Jumat, 24 April 2020 06:36 WIB
Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Doni Monardo (Foto: Randy Tri Kurniawan)

RM.id  Rakyat Merdeka - Sudah enam pekan, Letjen TNI Doni Monardo tidak pulang. Sejak ditunjuk sebagai Ketua Gugus Tugas Covid-19, mulai 25 Maret 2020, Doni all out bekerja. Kini, Komandan Jenderal Pasukan Khusus ke-27 itulah yang selama 24 jam sehari, dan 7 hari seminggu, memimpin perang melawan virus Corona.

Senin (20/4) malam lalu, Tim Rakyat Merdeka yaitu: Kiki Iswara Darmayana, Ratna Susilowati, Kartika Sari, Oktavian Surya Dewangga dan Randy Tri Kurniawan, ngobrol santai dengan Doni, di Kantor Gugus Tugas Covid-19, Graha BNPB Jl Pramuka, Jakarta Timur. Suryopratomo, wartawan senior yang kini aktif menjadi relawan Corona, ikut mendampingi. Berikut petikannya.

Perintah Presiden untuk penanganan virus Covid-19 ada tiga, yaitu pengujian sampel secara masif, pelacakan yang agresif dan isolasi yang ketat. Bagaimana pelaksanaannya?

Pelaksanaan belum maksimal, karena reagen untuk test PCR masih terbatas. Untuk mendapatkannya penuh perjuangan, karena rebutan dengan negara-negara lain. Kalau terlambat (pesan), kita tidak kebagian. Tetapi, Alhamdulillah, Sabtu (18/4, red) dibantu oleh kawan-kawan dari Korea Selatan. Minta tolong kepada pabrik yang produksi reagen PCR. Mereka akhirnya split sebagian pesanan untuk Indonesia.

Tim kita menjemputnya Sabtu malam itu juga, dan di sana dibantu Dubes Korea Selatan Bapak Umar Hadi dan Tim KBRI. Kerja sampai tengah malam, tidak tidur demi reagen itu. Minggu pagi, diterbangkan dari Seoul, Korsel. Mendarat di Jakarta, Minggu pukul 14.50 WIB, reagen langsung didistribusikan. Yang ke luar Jawa, distribusi sejak Senin (20/4, red).

Dampak dari Corona ini, mengaktifkan laboratorium yang biasanya kurang aktif. Dan tenaga SDM-nya di-training ulang. Sabtu, alat tes PCR akan datang lagi dari Tiongkok, jumlahnya sekitar 700-an ribu. Prioritas dikirim ke zona merah. BPPT dan Biofarma sedang riset. Mudah-mudahan, tidak lama lagi, bisa produksi sendiri. Kalau kita mampu buat, ngapain cari-cari sampai ke luar negeri pontang-panting begitu.

Sebelumnya, pemerintah juga membeli alat rapid test. Apakah alat itu masih dimanfaatkan?

Rapid test itu tes antibodi. Kemenkes menyatakan, untuk mengecek Virus Covid-19, rapid test tidak memenuhi standar dan tidak direkomendasikan WHO. Siapa pun yang sudah di-rapid test, tetap disarankan PCR test, agar hasilnya lebih akurat.

Baca juga : Tangkal Covid-19, Ismed Sofyan Tetap di Rumah dan Rajin Olahraga

Zona merah sudah tersebar di 34 provinsi. Apakah jumlah testpack PCR yang ada mencukupi?

Idealnya, semua warga negara dites PCR. Tapi kemampuan kita terbatas. Sejumlah daerah harus bersabar dulu. Nanti, saat reagen PCR-nya banyak, kita bisa masif melakukan pengecekan, dan agresif melakukan pelacakan. Sekarang, prioritas tes PCR untuk orang yang potensi terpaparnya tinggi, misalnya tenaga medis, dokter, perawat dan orang-orang yang bekerja di area rumah sakit.

Setelah itu, seluruh keluarga terkait dan orang-orang dekat yang berhubungan langsung dengan pasien terpapar. Terakhir, lapis tiga, orang-orang yang diperkirakan pernah kontak dengan yang sakit. Kalau ini dikerjakan optimal, puncak pandemik sekitar Mei-Juli bisa diintervensi. Wabah lebih cepat berakhir.

Kapan puncak infeksi Covid-19 di Indonesia akan terjadi, dan bagaimana mengakhirinya lebih cepat?
Banyak pakar melakukan analisa, dan saling beradu argumen. Indonesia akan pilih bersikap moderat saja. Yang paling cocok dengan kondisi negara kita. Diperkirakan, kurva naik Mei sampai Juni. Juli bertahan dan Agustus mulai turun. September selesai. Jika kita disiplin, berkomitmen dan bersemangat kuat memutus rantai penularan, kurvanya bisa turun lebih cepat.

Saya membaca artikel yang ditulis Pak Pandu (dr Pandu Riono, MPh PhD, pakar kesehatan masyarakat UI, red). Dikatakan, yang paling berbahaya adalah orang tanpa gejala, terutama di kelompok usia 21-40 tahunan, dengan mobilitas tinggi. Positif Covid-19, tapi tak merasakan sakit karena imunitas mereka bagus dan kondisi kesehatannya stabil. Mereka inilah yang berbahaya dan bisa jadi penyebar maut, pembunuh potensial atau silent killer saat bersinggungan dengan kelompok rentan dan memiliki penyakit penyerta. Jumlah Orang Tanpa Gejala (OTG) cukup besar, mencapai 76 persen, dari keseluruhan yang positif Covid-19.

Kelompok rentan adalah mereka yang usianya sepuh (lansia) dengan kondisi imunitas tubuh tidak memadai. Dan mereka yang memiliki penyakit penyerta misalnya hipertensi, jantung, diabetes, kanker, asma, ginjal, hepatitis dan sebagainya. Nah, mereka ini jika terinfeksi dari orang tanpa gejala, dampaknya sakit berat, serius, kritis dan bisa meninggal. Karena itulah, perlu publikasi, sosialisasi, agar masyarakat memahami.

Adsense

Apakah semua korban Covid-19 yang meninggal dunia itu ditemukan ada penyakit penyertanya?

Saya menerima data dari Dirjen Pelayanan Kesehatan. Korban terbanyak yang meninggal adalah kelompok usia di atas 60 tahun, dan pararel ada penyakit penyertanya. Sejauh ini belum ada pasien yang meninggal tanpa penyakit penyerta. Jadi, apabila seseorang memiliki riwayat penyakit kronis seperti disebut tadi, sebaiknya benar-benar menghindari kerumunan atau persentuhan dengan orang lain.

Baca juga : Presiden Heran, Apalagi Rakyat

Bagaimana pesan untuk masyarakat menghadapi Ramadhan dan Lebaran, dalam suasana pandemi Covid?

Untuk sementara, mohon masyarakat bersabar di rumah. Beribadah, buka puasa dan tarawih, termasuk berlebaran di rumah. Jangan membuat kerumunan. Jika di antara keluarga kita, ada yang masih sering bolak balik keluar rumah, jangan sampai dia bersentuhan dengan anggota keluarga lainnya, apalagi dengan yang memiliki penyakit penyerta. Pekan ini mungkin tidak terpapar, tetapi kita tidak tahu pekan berikutnya.

Selama Ramadhan sampai Lebaran, marilah ikuti protokol kesehatan dengan disiplin. Selain cuci tangan dengan sabun dan air mengalir, hindari kebiasaan memegang mata hidung dan mulut. Kalau perlu tangannya ikat nih, ha...ha...ha... Dan memakai masker. Semua harus pakai masker di luar rumah atau saat bicara dengan orang lain.

Kalau lawan bicara tidak pakai masker, kasih dia masker. Tak punya masker? Tutup mulut hidung dengan saputangan, atau syal. Tak ada rotan, akar pun jadi. Dengan disiplin, kita bisa memutus rantai penularan Covid lebih cepat. Kalau tidak disiplin, ya pandemi ini akan panjang. Kita mau yang mana? Mau wabah ini panjang atau segera berakhir?

Selain alat tes PCR yang terbatas, juga ada krisis APD (Alat Pelindung Diri). Bagaimana penanganannya?

Bahan membuat APD 100 persen masih impor. Kita mendapat 1,1 juta APD dari Korsel. Sebanyak 950 ribu pieces sudah disebar ke seluruh Indonesia. Itu benar-benar APD yang sesuai standar WHO. Saya tidak mau mendistribusikan APD yang bukan standar WHO. Seluruh dokter dan perawat yang berada di garis depan, harus dipastikan mendapatkan APD dengan kualitas terbaik. Jika tidak, fatal akibatnya.

Dokter itu sekolahnya susah, lama dan biayanya mahal. Di Indonesia, rasionya, satu dokter untuk 1.300 orang. Rasio dokter spesialis, satu berbanding 35 ribu orang. Makanya, semua dokter yang berpraktik, harus memakai APD. Kehilangan dokter berarti kehilangan kekuatan bangsa kita.

Semoga ke depan, kita segera bisa memproduksi APD dengan bahan baku lokal, tetapi berstandar WHO. Saya mendengar, saat ini kita sudah kirimkan sampel APD ke Amerika Serikat untuk mendapatkan pengesahan. Jika terpenuhi, dalam waktu dekat, kita sudah bisa produksi di dalam negeri, dengan volume besar.

Baca juga : Antisipasi Corona, Baznas Salurkan Bantuan Langsung Ke Rumah Warga

Banyak negara mengalami kekurangan ventilator. Bagaimana di Indonesia?

Ada beberapa lembaga dan perguruan tinggi memproduksi ventilator, seperti UI, Unpad dan ITB. Semua produk itu kita bawa ke satu pintu di BPPT. BPPT bekerja sama dengan Biofarma untuk melakukan pengecekan. Saat dinyatakan layak dan mendapat izin edar dari Kemenkes, barulah kita salurkan produknya ke rumah-rumah sakit. Semoga proses ini bisa cepat. Ventilator juga diupayakan impor, karena persediaan di rumah sakit sangat terbatas.

Kondisi dokter dan tenaga-tenaga medis bagaimana?

Mereka setiap hari berhadapan dengan pasien Covid. Risiko tertular sangat tinggi. Apalagi, di antara para dokter juga ada yang memiliki penyakit penyerta. Karenanya, saya sangat berusaha semua dokter dan tenaga medis menggunakan APD dengan kualitas terbaik agar perlindungan optimal.

Kami berharap masyarakat menjaga diri, mencegah terinfeksi Covid dengan tinggal di rumah. Rumah sakit adalah benteng terakhir. Dokter dan tenaga medis jangan dijadikan ujung tombak melawan Covid-19. Untuk menghindari penularan kepada dokter dan tenaga medis, maka yang berada di frontline saat ini adalah dokter telemedicine. Bapak Presiden menyebutnya rumah sakit tanpa dinding. Pasien memanfaatkan dokter online.

Saat ini, jumlah pasien di online sekitar satu juta orang, dan yang aktif konsultasi sekitar 25 ribu orang. Laporan Menteri Kesehatan, beberapa hari lalu, isi pengaduan ke layanan dokter online mulai berubah. Biasanya banyak menanyakan tentang Covid-19, sekarang sudah non-Covid. Ini perkembangan yang baik. ***

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Tags :

Berita Lainnya
 

TERPOPULER

Adsense