BREAKING NEWS
 

Rawan Politisasi, Aturan Pembubaran Ormas Perlu Dievaluasi

Reporter : OSPI DARMA
Editor : FAQIH MUBAROK
Jumat, 1 April 2022 07:01 WIB
Ketua PP Muhammadiyah bidang hukum, M. Busyro Muqoddas, Ketua Centra Initiative Al Araf, Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid, dan Wakil Ketua MPR Arsul Sani saat diskusi Problematika Pembubaran Ormas di Indonesia di Jakarta, Rabu (30/3). (Foto: Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Sejak Perppu Ormas disahkan menjadi Undang Undang no. 16 tahun 2017, ada sejumlah perubahan dalam ketentuan pembubaran organisasi kemasyarakatan (ormas). Pasal-pasal pembuatan ormas dapat dikenakan ke kelompok manapun dan sangat mengancam kebebasan berserikat dan berorganisasi.                

Ketua Badan Pengurus Centra Initiative, Al Araf menyebutkan, kebebasan berserikat dan berorganisasi dijamin dalam konstitusi. Namun undang-undang yang mengatur ormas baru muncul di era demokrasi terpimpin.

"Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, pemerintah saat itu berhadapan ormas-ormas yang menolak dekrit yang berujung pada pembubaran sejumlah ormas," katanya dalam diskusi Problematika Pembubaran Ormas di Indonesia di Jakarta, Rabu (30/3).                

Lalu di era Orde Baru, kehadiran UU Nomor 8 tahun 1985 tentang Ormas juga digunakan untuk menghadapi kelompok oposan. Sedangkan di era reformasi ada perdebatan pelik soal aturan pembubaran ormas.

Baca juga : Ingat! Anggota PERIKHSA Wajib Patuhi Aturan Penggunaan Senjata Api Bela Diri

Dalam UU Nomor 17 tahun 2013 tentang Ormas sudah dijelaskan bahwa pembubaran ormas harus lewat pengadilan jika berbadan hukum, tidak berbadan hukum lewat Surat Keterangan Terdaftar (SKT).

"Itu sudah lumayan baik, tapi lewat Perppu Ormas tahun 2017, pembubaran dikembalikan lewat pemerintah, karena waktu itu ada konteks Pilkada Jakarta, kalau dibiarkan nanti 2024 aturan pembubaran ormas bisa jadi pemukul buat siapa saja," sebut Al Araf.

Wakil Ketua MPR yang juga anggota Komisi III DPR, Arsul Sani mengatakan, Perppu Ormas yang belakangan disahkan menjadi undang-undang memang tidak ideal. DPR juga berusaha merevisi UU Nomor 16 tahun 2017 lewat Prolegnas 5 tahunan.

Adsense

"Tapi memang belum masuk Prolegnas prioritas," katanya.

Baca juga : Lawan Persija, Kesempatan Terakhir PSS Sleman Bertahan Di Liga 1

Menurut Arsul, aturan pembubaran ormas sebaiknya seperti aturan pembubaran badan usaha. Dimana jaksa harus mengajukan permohonan ke pengadilan.

"Memang UU Ormas yang sekarang perlu direvisi karena ada ketakutan akan dipergunakan pada organisasi lain yang berseberangan dengan pemerintah," ujarnya.                

Ketua PP Muhammadiyah bidang hukum, M. Busyro Muqoddas menyebutkan, ada karakter represif di tiap rezim yang berkuasa. Hal itu terjadi karena rezim yang gagal menyikapi negara hukum dan demokrasi.

"Di setiap pembubaran ormas dan partai ada manipulasi Pancasila," ucapnya.                

Baca juga : Antrean PPLN Membludak, Tes PCR Mau Dikaji Ulang

Busyro menilai, saat ini terjadi pelemahan masyarakat. Salah satunya dengan pembatasan kebebaran berpendapat, berserikat, hingga kriminalisasi.

"Di saat bersamaan ada penyesatan Pancasila pada sejumlah undang-undang yang ditolak oleh masyarakat sipil," katanya.

Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menegaskan, hak berserikat dan berorganisasi bersifat konstitusional meski tidak absolut. Untuk membubarkan ormas harus ada empat syarat yang harus dipenuhi, yaitu legalitas, kebutuhan atau necessity, proporsional, dan akuntabilitas.

"Sementara pembubaran ormas di Indonesia terjadi dalam atmosfir pemerintah yang tidak demokratis, ada saja syarat yang tidak terpenuhi," ujarnya. [OSP]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Tags :

Berita Lainnya
 

TERPOPULER

Adsense