Dark/Light Mode

Lidia Pradista Putri Swastika, Mahasiswa Universitas Airlangga

Kebersihan Kota & Pengelolaan Sampah sebagai Upaya Waste Management dalam Dukung SDGs

Selasa, 8 November 2022 13:58 WIB
Seorang warga Napoli tidak tahan menghirup sampah di kotanya (Foto: AP Photo/Salvatore Laporta)
Seorang warga Napoli tidak tahan menghirup sampah di kotanya (Foto: AP Photo/Salvatore Laporta)

Sampah merupakan isu global yang sedang menjadi perbincangan hangat. Sampah yang tidak ditangani dengan benar dapat mengancam kesehatan manusia dan lingkungan. Hal ini secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan cara produksi dan konsumsi masyarakat yang terus meningkat seiring dengan bertambahnya populasi (sekitar 7,94 miliar per Juli 2022 menurut data PBB).

Peningkatan produksi dan konsumsi menimbulkan berbagai dampak negatif bagi lingkungan jika pengelolaan yang baik tidak dilakukan. Sebagai contoh, beberapa daerah masih belum memiliki tempat pengumpulan sampah sehingga kesehatan masyarakat, khususnya anak-anak di daerah tersebut, dapat terganggu, pembakaran sampah menyebabkan emisi polutan organik partikulat dan persisten, mendorong penyakit kolera, demam berdarah, serta penyakit menular lainnya.

Wilayah metropolitan Napoli menjadi contoh kasus adanya isu kesehatan masyarakat (public health) yang disebabkan akibat banyaknya tumpukan sampah. Permasalahan limbah padat Napoli sudah lama menjadi sorotan, sebab solusi pengolahan dan pembuangan limbah tidak ditemukan. Hal ini menyebabkan adanya krisis berkala di kota tersebut. Sampah dibiarkan menumpuk di jalanan sehingga menyebabkan vektor-vektor penyakit berkembang biak.

Keadaan tersebut diperumit oleh adanya gerakan dari organisasi ‘kiriminal’ yang terlibat dalam pengangkutan sampah di Napoli. Sebuah insenerator yang memiliki kapasias pemrosesan 650.000 ton per tahun di Accerra (wilayah dekat Kota Napoli) pada tahun 2013 mulai beroperasi. Namun, masalah ini belum sepenuhnya terselesaikan sebab masih terdapat sekitar 8 juta ton limbah yang sementara terakumulasi di sekitar Napoli.

Baca juga : Danone Raih Predikat Tertinggi Di Indonesia Green & Sustainable Company Award 2023

Dampak lingkungan juga pernah terjadi di Love Canal (Amerika Serikat) yang pada mulanya direncanakan sebagai pemukiman masyarakat. Proyek terhenti saat kanal sudah digali sepanjang 1 mil. Kanal tersebut digunakan menjadi tempat pembuangan sampah kota dan bahan kimia. Pada 1920 hingga 1950, Love Canal disebut sebagai kanal ‘mangkrak’ (bahan kimia beracun terkumpul sekitar 20.000 ton yang dibuang selama bertahun-tahun). Tahun 1953, kanal telah mencapai kapasitas penuh sehingga ditutup dengan tanah dan kembali dijual.

Pada tahun 1960 hingga 1970, masalah bau dan residu mulai bermunculan (dampaknya membuat air sekitar pemukiman naik dan membawa air tanah yang membuat permukaan tanah terkontaminasi). Curah hujan tinggi (1978) berakibat pada adanya migrasi atau perpindahan air lindi terkontaminasi yang mengandung bahan kimia beracun (para peneliti menemukan 82 senyawa berbahaya, 11 di antaranya diduga sebagai senyawa yang karsinogen) ke pekarangan dan ruang bawah tanah rumah hingga mencemari udara. Tidak hanya itu, lebih dari 100 kasus penyakit di kalangan anak-anak juga marak dan berakibat pada kemarahan publik. 

Pada abad ke-21, pengelolaan limbah atau waste management sudah menjadi layanan utilitas yang krusial bagi masyarakat. Waste management saat ini dianggap sebagai kebutuhan mendasar manusia dan seringkali disebut sebagai Hak Assasi Manusia. Sesuai dengan tiga 'pilar' atau 'domain' keberlanjutan dan terintegrasi dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Develeopment Goals atau SDGs) dalam agenda Pembangunan Pasca-2015, limbah adalah isu lingkungan lintas sektoral di mana banyak sekali untaian yang berbeda berinteraksi. Negara maju telah membuat langkah besar dalam menanggapi adanya masalah sampah dan pengelolaannya, langkah tersebut dimulai sejak ‘lingkungan’ menjadi agenda internasional pada 1960-an.

Fokus awal adalah pada cara mengatasi, sedangkan saat ini perhatian beralih pada pencegahan, pengurangan, mengatasi masalah pada sumbernya melalui perancangan teknologi untuk pengolahan limbah, meminimalkan dan menggunakan kembali (reuse), serta mengurangi jumlah dan penggunaan bahan berbahaya. Tujuannya untuk menanamkan ‘mindset’ dari 'pembuangan limbah' ke 'pengelolaan limbah' serta dari 'limbah' ke 'sumber daya'--maka, terminologi yang diperbarui yaitu 'pengelolaan limbah dan sumber daya' dan 'pengelolaan sumber daya' sebagai bagian dari ekonomi sirkular. 

Baca juga : Survei Charta: Pemilih Yang Tidak Puas Dengan Kinerja Jokowi Cenderung Mendukung Prabowo

Negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah masih menghadapi tantangan besar dalam memastikan akses universal ke layanan pengumpulan limbah, menghilangkan pembuangan dan pembakaran yang tidak terkendali, dan bergerak menuju pengelolaan yang ramah lingkungan. Negara-negara tersebut masih perlu merancang dan menerapkan kebijakan praktik yang inovatif dan efektif untuk mempromosikan pencegahan limbah dan membendung peningkatan limbah per kapita seiring dengan berkembangnya ekonomi. Hal ini diperlukan karena pengelolaan sampah merupakan isu lintas sektor yang berdampak pada banyak aspek masyarakat dan ekonomi serta memiliki keterkaitan yang kuat dengan berbagai tantangan global lainnya seperti perubahan iklim, kesehatan, ketahanan pangan dan sumber daya, pengurangan kemiskinan, serta produksi dan konsumsi yang berkelanjutan. 

Pada berbagai negara, tindakan diperkuat signifikan ketika pengelolaan sampah dipandang sebagai titik mengatasi berbagai masalah pembangunan berkelanjutan yang dirasa masih sulit untuk ditangani. Pengelolaan limbah padat menurut IPCC (Intergovermental Panel on Climate Change) telah menyumbang sekitar 3 persen dari emisi gas rumah kaca (GRK) global pada tahun 2010, sebagian besar disebabkan oleh emisi metana dari lokasi TPA. Lebih dari 50 persen limbah padat perkotaan di seluruh dunia dihasilkan di negara-negara OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) yang sebagian besar telah dikelola dengan baik (gas TPA dikumpulkan dan dibakar atau digunakan dalam pemulihan energi). Beberapa negara telah berhasil mengalihkan persentase limbah dari TPA secara signifikan. Sebagai contoh, Jerman menghubungkan 24 persen dari total penghematan emisi GRK tahun 1990 hingga 2006 dengan pengelolaan limbah padat. 

Tindakan mengatasi masalah pada sumbernya, seperti perancangan limbah, pencegahan, dan penggunaan kembali produk memiliki potensi penghematan karbon yang jauh lebih besar. Tindakan ini dapat menggantikan emisi GRK di berbagai sektor. Selain itu, daur ulang dapat mengurangi pengunaan bahan dengan biaya karbon yang jauh lebih rendah sehingga emisi dapat berkurang. Fokus pada pengelolaan limbah dan sumber daya berpotensi untuk mencapai mitigasi perubahan iklim jangka pendek yang substansial (dapat mencapai 15-20 persen di sejumlah sektor). 

Perwujudan ‘kota bersih’ memerlukan pengelolaan sampah yang baik. Kota bersih adalah kota yang dapat menunjang kesehatan dan kenyamanan penduduk sehingga bisnis, investasi, dan daya tarik wisatawan dapat meningkat. Pengelolaan sampah yang buruk dapat berakibat pada berkurangnya pendapatan. Kutipan Global Waste Management Outlook, kerugian yang dialami dapat lebih besar dibandingkan dengan biaya penerapan sistem pengelolaan sampah yang berkelanjutan. Hal yang perlu mendapat perhatian besar adalah sistem pengelolaan sampah kota terkhusus pada masalah tata kelola kota, termasuk dalam inklusivitas pengguna (penjangkauan daerah yang sebelumnya tidak atau kurang terlayani, pelibatan warga dalam pengambilan keputusan, inklusivitas penyedia, keberlanjutan keuangan, dan penerapan kebijakan dan lembaga yang efektif baik di tingkat nasional maupun lokal.

Baca juga : Sea Indonesia 2023, Ajang Pertemuan Bisnis Investasi Dan Dunia

Kebersihan kota sebagai indikator proksi untuk tata pemerintahan yang baik merupakan tujuan utama dari program pembangunan dengan harapan manfaat positif bagi masyarakat dan perekonomian dapat dirasakan. Banyak potensi yang dapat digali untuk penciptaan lapangan kerja dalam ekonomi hijau, khususnya potensi sektor limbah dan sumber daya untuk menciptakan mata pencaharian yang berkelanjutan. Pengelolaan sampah yang telah tertanam dengan baik dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), dijabarkan baik secara eksplisit maupun implisit pada lebih dari setengah dari 17 tujuan. Oleh karena itu, kepentingan strategis pemantauan dan peningkatan pengelolaan sampah dengan penetapan harus terus dilakukan sehingga kontribusi yang signifikan untuk mencapai SDGs (target secara global) dapat diwujudkan.■

Powered by Froala Editor

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.