Dark/Light Mode

Yassriani Almattushyva, Mahasiswa Universitas Gadjah Mada

Demokrasi Energi untuk Karbon Netral 2060: Pelibatan Masyarakat dalam Kebijakan Transisi Energi di Indonesia

Selasa, 27 Desember 2022 11:30 WIB
Pembangkit Listrik Tenaga Surya di Sulawesi Selatan sebagai Langkah Transisi Energi. (Foto: PLN)
Pembangkit Listrik Tenaga Surya di Sulawesi Selatan sebagai Langkah Transisi Energi. (Foto: PLN)

Energi merupakan salah satu sektor yang sangat krusial untuk ditransformasikan mengingat kontribusinya yang signifikan terhadap emisi global. PBB mencatat bahwa energi fosil yang terdiri dari batu bara, minyak, dan gas menyumbang lebih dari 75 persen emisi gas rumah kaca global dan hampir 90 persen dari seluruh emisi karbon dioksida (CO2). Emisi gas rumah kaca yang menyelimuti bumi mengakibatkan pemanasan global dan perubahan iklim. Temperatur bumi yang meningkat secara eksponensial menyebabkan perubahan iklim yang semakin parah seharusnya menjadi desakan bagi negara-negara untuk segera beralih ke energi terbarukan dan mempercepat penurunan emisi karbon untuk menyukseskan Perjanjian Iklim Paris yang bertujuan untuk membatasi pemanasan global hingga di bawah 2-1,5 derajat celsius di di atas (UNFCCC, 2015).

Sebagai negara tropis dengan kondisi geografis yang didominasi oleh perairan dan menjadi rumah bagi gunung api aktif terbanyak di dunia, Indonesia memiliki potensi besar untuk bertransisi ke energi terbarukan. Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya (ESDM), potensi energi terbarukan di Indonesia mencapai 417,8 gigawatt (GW) dengan rincian: 17,9 GW dari arus laut samudera, 23,9 GW dari panas bumi, 32,6 GW dari bioenergi, 60,6 GW dari angin, 75 GW dari air, dan dari energi matahari sebesar 207,8 GW. Meskipun demikian, Indonesia masih memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap penggunaan bahan bakar fosil. Sektor energi menjadi kontributor emisi terbesar kedua setelah pertanian, kehutanan dan penggunaan lahan lainnya (Kementerian Investasi RI, 2022). Energi fosil berkontribusi sebanyak 5% untuk PDB Indonesia pada tahun 2019 dan masih menjadi sumber utama (sekitar 88 persen) kapasitas listrik nasional (Huang, 2022).

Sementara itu, berdasarkan laporan PLN pada bulan Juni 2022, proporsi energi terbarukan di Indonesia baru mencapai 12.8 persen (Setiawan, 2022). Persentase tersebut merefleksikan bahwa perkembangan energi terbarukan masih cenderung stagnan dan relatif jauh dari komitmen Indonesia. Merujuk pada Rencana Umum Energi Nasional, Indonesia menargetkan penggunaan EBT di bauran energi terbarukan sebesar 23 persen pada tahun 2025 dan 31 persen pada tahun 2050. Indonesia juga berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen secara independen dan 41 persen dengan bantuan internasional pada tahun 2030, serta mencapai netral karbon pada 2060. 

Baca juga : Di Jerman, Menteri ESDM Dorong Peningkatan Investasi Transisi Energi Indonesia

Untuk mewujudkan komitmen ambisius tersebut, tentu transisi energi sangat dibutuhkan. Transisi energi berperan penting guna mengubah model produksi dan pasokan energi yang didominasi oleh energi fosil menjadi energi terbarukan melalui peningkatan konservasi energi dan energi efisiensi, serta menyesuaikan struktur industri (Lin & Cheng, 2022). Namun sejauh ini perkembangan energi terbarukan untuk mendorong transisi energi di Indonesia masih menemui hambatan. Ialnazov dan Keeley (2020) mengidentifikasi bahwa terdapat enam kategori hambatan dalam proses transisi energi di Indonesia, yaitu: 1) akses keuangan yang tidak memadai; 2) biaya energi terbarukan yang mahal; 3) kurangnya tenaga kerja terampil; 4) infrastruktur fisik yang kurang berkembang; 5) kekuatan petahana dalam melobi untuk menolak transisi energi; dan 6) dukungan kebijakan yang tidak memadai. Karena beberapa faktor tersebut, ketahanan energi, akses energi, dan manfaat pembangunan ekonomi cenderung menjadi fokus orientasi pembuat kebijakan alih-alih pada mitigasi dampak perubahan iklim.

Lantas, bagaimana pemerintah dapat mengakselerasi upaya transisi energi dalam rangka mencapai karbon netral pada tahun 2060? Tulisan ini berargumen bahwa Indonesia dapat mengakselerasi upaya pengurangan emisi karbon dengan mengikutsertakan masyarakat dalam penyusunan dan implementasi kebijakan transisi energi. Adapun langkah yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah dengan: 1) meningkatkan wawasan dan kesadaran masyarakat tentang energi berkelanjutan dan urgensi transisi energi; dan 2) memberikan dukungan dan kesempatan bagi masyarakat untuk memiliki kontrol atas pengembangan sumber energi. Argumen tersebut didasarkan pada konsep demokrasi energi yang mengacu pada seruan politik dan pelembagaan bentuk-bentuk penyediaan dan tata kelola energi yang lebih partisipatif (Becker & Naumann, 2017). Hal ini penting karena transisi energi bukanlah hal teknis semata. Melainkan juga terkait dengan rekonfigurasi sistem produksi, transportasi, dan distribusi energi yang harus mempertimbangkan aspek sosial dan lingkungan (Lin & Cheng, 2022). 

Pertama-tama, untuk mendorong partisipasi publik dalam transisi energi, diseminasi pengetahuan sangatlah dibutuhkan. Pemerintah perlu untuk mengedukasi masyarakat akan isu energi terbarukan dan pentingnya transisi energi untuk mengatasi krisis iklim, misalnya dengan berkolaborasi bersama lembaga swadaya masyarakat (LSM), wadah pemikir, dan perguruan tinggi untuk menyelenggarakan sosialisasi dan kuliah umum, ataupun memasukkan materi tersebut ke dalam kurikulum sekolah. Dengan berbekal pengetahuan yang cukup, maka masyarakat, terutama generasi muda, kiranya dapat semakin menyadari pentingnya energi terbarukan dan mengetahui peran mereka untuk terlibat dalam mewujudkan tujuan bersama.

Baca juga : Airlangga: Penting, Musyawarah dan Mufakat dalam Presidensi G20 Indonesia

Terlebih lagi, dengan Indonesia yang baru saja mendapat dukungan pembiayaan senilai  AS$500 juta AS dan lebih dari AS$20 miliar AS untuk melakukan transisi energi melalui Mekanisme Transisi Energi (ETM) dan Kerja Sama Transisi Energi yang Adil (JETP) yang baru diperkenalkan pada saat penyelenggaraan G20 di Bali, maka konsep demokrasi energi menjadi relevan. Melalui demokrasi energi, proses transisi energi berfokus pada hak atas partisipasi publik yang lebih luas baik dalam aspek politik maupun ekonomi, dan mendorong pergeseran kepemilikan energi yang dapat dikontrol oleh publik (Kunze & Becker, 2014). Dalam hal ini, pemerintah Indonesia perlu memberikan ruang bagi publik dari berbagai latar belakang seperti peneliti, organisasi, dan kelompok marjinal untuk menyuarakan kepentingan rakyat bersama agar keadilan prosedural dapat dipenuhi. 

Dengan adanya partisipasi publik, masyarakat memiliki kesempatan untuk dapat mendorong pengelolaan energi mereka sendiri. Yang artinya juga dapat mengubah mode tradisional menjadi mode produksi listrik mandiri untuk mendorong pertumbuhan penggunaan energi terbarukan yang tak terbatas. Secara langsung maupun tidak langsung, hal tersebut akan mampu mendorong penciptaan nilai dan lapangan kerja yang kemudian dapat memberdayakan masyarakat dan perekonomian negara. Sebagai contoh konkret adalah inisiasi untuk mendorong produksi listrik yang diupayakan oleh organisasi kepemudaan di bidang energi terbarukan, yaitu Society of Renewable Energy (SRE) IndonesiaBeberapa proyek yang telah dijalankan adalah: 1) Pembangunan sistem agrofotovoltaik 1650 Wp untuk membantu petani di Garut dalam menyediakan akses listrik dekat sawah dengan sistem pompa air tenaga surya dengan baterai; 2) Pemasangan panel surya atap di Bekasi untuk menunjang produktivitas sistem hidroponik; dan 3) Pembuatan pohon photovoltaics surya untuk membantu warga desa di Mojokerto (SRE, 2021). Selain mendorong penggunaan energi hijau, proyek-proyek tersebut juga dapat memberdayakan masyarakat dan menunjang produktivitas ekonomi.

Sehingga, dengan adanya potensi energi terbarukan yang besar dan tersedianya dukungan pembiayaan yang memadai kiranya dapat menjadi modalitas untuk menerapkan konsep demokrasi energi di Indonesia. PLN perlu segera meninggalkan bahan bakar fosil dan beralih ke energi terbarukan alih-alih menambah pembangunan PLTU batu bara yang menurut peneliti di Trend Asia diproyeksi akan menghasilkan 107 juta ton emisi CO per tahun (Jong, 2021). PLN dapat berkolaborasi dengan berbagai organisasi dan institusi dalam upaya proses transisi energi agar energi terbarukan dapat menjangkau rakyat luas dan tersebar secara merata. Yang pada akhirnya, langkah-langkah tersebut dapat mendororong upaya akselerasi dekarbonisasi yang lebih ambisius untuk mencapai netral karbon pada 2060.

Powered by Froala Editor

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.