Dark/Light Mode

Gelar FGD HPPGB, INGTA Harap Peraturan Tumpang Tindih Segera Dibereskan

Selasa, 29 Maret 2022 14:38 WIB
Foto: Ist.
Foto: Ist.

RM.id  Rakyat Merdeka - INGTA sebagai asosiasi yang menaungi Badan Usaha Trader Gas di Indonesia, menyelenggarakan FGD terkait Harmonisasi Peraturan Perundangan Gas Bumi (HPPGB) di Bali pada Kamis (24/3).

Turut hadir pada acara tersebut narasumber dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Manusia, Direktorat Pembinaan Usaha Hilir Migas dan juga Badan Pengatur Hilir Migas. FGD tersebut fokus membahas beberapa peraturan perundangan yang terkait dengan kegiatan usaha niaga dan pengangkutan Gas Bumi.

Salah satu yang dibahas adalah adanya beberapa peraturan perundangan yang dianggap tumpang tindih. Contohnya, seperti Permen ESDM No. 06/2016, yang salah satu isinya adalah melarang terjadinya trading bertingkat lantaran disinyalir menjadi salah satu penyebab tingginya harga jual gas bumi yang dibeli oleh konsumen akhir.

Sementara pada Permen ESDM No. 58/2017, harga jual gas bumi diatur dan dibatasi oleh pemerintah melalui formula harga tertentu. Yakni, biaya niaga gas dibatasi sebesar 7 persen dari harga gas hulu, ditambah 11 persen IRR pengembalian investasi.

Baca juga : DPR, HKTI, KTNA Dan HMPO Sepakat Penggunaan Pupuk Organik Diperluas

"Hal tersebut menjadi tumpang tindih karena tujuan untuk mengurangi harga gas sudah dapat diwujudkan dari Permen No. 58/2017 tersebut meskipun trading bertingkat tetap diperbolehkan," ujar Ketua Umum INGTA, Eddy Asmanto, Selasa (29/3). 

Trading bertingkat dirasa masih diperlukan di antara para trader guna mengatasi kesulitan dalam penyaluran gas bumi, karena semakin sulitnya mendapatkan pasokan, kesiapan dalam penyaluran gas, dinamika konsumen akhir, serta optimalisasi infrastruktur yang sudah ada saat ini.

"Tentunya hal ini harus dibatasi dengan beberapa ketentuan seperti kewajiban para trader untuk memiliki fasilitas penyaluran gas bumi sendiri," imbuhnya. 

Masih terkait dengan Permen 06/2016, pada Permen tersebut juga diatur mengenai alokasi gas bumi kepada BUMN, BUMD dan Badan Usaha Swasta. Hal ini tumpang tindih dengan Permen ESDM No. 04/2018 yang mengatur alokasi Gas Bumi melalui mekanisme lelang Wilayah Jaringan Distribusi (WJG) dan Wilayah Niaga Tertentu (WNT).

Baca juga : Berkas Perkara Dilimpahkan, Bupati Kuansing Andi Putra Segera Diadili

Pada FGD tersebut, juga dibahas mengenai aturan PBPH No. 34 yang dianggap masih perlu disesuaikan dengan kondisi sekarang.

Tingginya biaya pengangkutan (toll fee) di beberapa ruas pipa open acces disinyalir menjadi salah satu pemicu tingginya harga gas bumi. Padahal banyak ruas pipa saat ini merupakan pipa yang dibangun dan beroperasi sejak lama dan sudah melewati masa depresiasinya. 

Sehingga, apabila mengikuti formula toll fee dari BPH MIgas, fee tersebut seharusnya jauh lebih kecil. Ditambah lagi adanya beberapa biaya-biaya tambahan diluar toll fee yang seharusnya sudah menjadi bagian dari toll fee tersebut.

Sebut saja biaya sewa lahan yang dipatok sangat tinggi berdasarkan nilai NJOP lahan tersebut. Padahal jika mengikuti ketentuan yang dikeluarkan oleh DJKN, tarif pokok sewa BMN (Barang Milik Negara) berupa tanah dan/atau bangunan merupakan nilai wajar atas sewa.

Baca juga : Berkas Perkara Dilimpahkan, Dodi Reza Alex Noerdin Dkk Segera Disidang

Sehingga, apabila dibandingan sangat jauh dengan tarif sewa lahan yang dipatok oleh BUMN hingga sampai 60 persen per tahun dari harga NJOP.

"Ditambah lagi adanya biaya Operational & Maintenance, discrepancy dan sebagainya yang juga ditagihkan terpisah dari toll fee," tandasnya. 
 Selanjutnya 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.