Dark/Light Mode

Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
Anies & Muhaimin
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
Prabowo & Gibran
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
Ganjar & Mahfud
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU

Pakar Hukum: Minimnya Pengawasan Penyebab Maraknya Pertambangan Ilegal

Senin, 25 Juli 2022 18:08 WIB
Ilustrasi
Ilustrasi

RM.id  Rakyat Merdeka - Maraknya kegiatan pertambangan tanpa izin (PETI) di sejumlah daerah di Indonesia ditengarai akibat adanya pembiaran serta minimnya pengawasan dari pihak berwenang.

Aktivitas tambang ilegal ini kian meningkat dipicu harga komoditas mineral dan batu bara yang terus menguat dalam setahun terakhir.

Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang dirilis beberapa waktu lalu menyebutkan, hinga kuartal III 2022 terdapat lebih dari 2.700 lokasi (PETI) di Indonesia.

Dari jumlah tersebut, sekitar 2.600-an lokasi merupakan pertambangan mineral dan 96 lokasi merupakan tambang batubara.

Baca juga : Malam Ini Lawan Persikabo, Aji Santoso Nggak Percaya Rekor Pertemuan

Pakar Hukum Pertambangan Ahmad Redi, mengatakan maraknya aktivitas PETI tidak bisa dilepaskan dari nilai ekonomi yang didapat oleh masyarakat. Di satu sisi, banyak masyarakat yang menggantungkan mata pencaharian dari aktivitas ilegal tersebut.

Di sisi lain, perizinan tambang rakyat saat ini masih sulit karena belum optimalnya komitmen dari Pemerintah Daerah dalam menetapkan Perda Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR).

Khusus IPR, lanjut Redi, adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas.

“Adanya pembiaran dari pihak berwenang, kurangnya pengawasan, dan kurangnya fasilitasi perizinan. Itu penyebabnya,” kata Redi di Jakarta, Senin (25/07/2022).

Baca juga : Mentan Ajak Perbankan Perkuat Pertanian Indonesia

Menurut Redi, dalam praktiknya PETI bisa bermacam-macam. Pelaku ada yang memanfaatkan area hutan lindung dan hutan produksi, ada juga yang melakukannya di lahan yang termasuk wilayah izin usaha pertambangan milik perusahaan.

Bahkan, kata dia, ada juga PETI yang dilakukan di wilayah pesisir dan pulau-pulai kecil. Kondisi tersebut merugikan banyak pihak.

Selain potensi kerusakan wilayah karena praktiknya tidak mengindahkan kaidah lingkungan dan aspek Kesehatan, keamanan, keselamatan, dan lingkungan (HSSE), PETI juga merugikan negara karena pelaku tidak menyetor royalti maupun pajak.

“Padahal, SDA yang ada di bawah permukaan tanah merupakan kekayaan yang dikuasai negara sehingga untuk dapat diusahakan perlu mendapat perizinan dari pihak yang berwenang,” kata dosen Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara, Jakarta.

Baca juga : Benny Harman: Surya Paloh Negarawan Dan Selalu Utamakan Kepentingan Bangsa

Dia menambahkan, secara normatif, Pasal 158 Undang-Undang No 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara telah mengatur bahwa PETI merupakan kejahatan sehingga pelakunya dikenai pertanggungjawaban pidana.

Penegakan hukum pidana, baik penal maupun nonpenal dapat dilakukan dalam pencegahan dan penindakan PETI.

Redi mengungkapkan, agar aktivitas PETI bisa diberantas, harus ada upaya hukum yang bersifat multiektor disertai koordinasi antarinstansi terkait.
 Selanjutnya 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.