Dark/Light Mode

Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
Anies & Muhaimin
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
Prabowo & Gibran
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
Ganjar & Mahfud
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU

Strategi Sukses Swasembada Beras Bisa Diterapkan Untuk Komoditas Pangan Lain

Selasa, 16 Agustus 2022 11:37 WIB
Ilustrasi padi siap panen/Ist
Ilustrasi padi siap panen/Ist

RM.id  Rakyat Merdeka - Indonesia menerima penghargaan dari Institut Penelitian Padi Internasional (International Rice Research Institute/IRRI) karena memiliki sistem ketahanan pangan yang baik, dan berhasil swasembada beras pada periode 2019-2021. Penghargaan diserahkan Direktur Jenderal IRRI Jean Balie kepada Presiden Jokowi.

Ketua Umum Serikat Petani Indonesia Henry Saragih mengapresiasi penghargaan tersebut. Menurutnya, penghargaan itu buah dari implementasi UU 18/2012 tentang Pangan, yang tidak membolehkan impor selagi masih bisa diproduksi oleh petani di dalam negeri.

Dalam UU 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani juga disebutkan demikian.

“Karena itulah, sejak Presiden Jokowi, ditekankan tidak akan impor beras. Saya pikir harus dihargai komitmen itu," ungkapnya, Senin (15/8). 

Henry mengatakan, seharusnya kebijakan beras itu bisa diimplementasikan untuk komoditas pangan lain. 

“Ya harusnya di komoditas lain, termasuk daging. Karena sesungguhnya Indonesia bisa untuk kacang kedelai, bahkan juga terigu," ujarnya.

Swasembada beras juga didukung oleh pembangunan banyak irigasi pertanian oleh pemerintah. Meski demikian, Henry mengungkapkan, masih banyak yang harus dilakukan pemerintah terkait beras.

"PR-nya begini, petani yang produsen beras itu kehidupan kesejahteraannya belum membaik. Itu bisa dilihat secara sederhana dari Nilai Tukar Petani (NTP) yang tahun ini menurun," tegas Henry.

Baca juga : Racikan Pupuk Kujang Dongkrak Produksi Tebu

Penurunan NTP menjadi indikator kerugian yang dialami petani pangan. Penurunan itu dipengaruhi mahalnya ongkos produksi tanaman padi.

"Jadi, sebenarnya petani pangan, dalam hal ini padi, ya semuanya merugi. Mengapa terjadi penurunan? Karena harga pupuk mahal, terus benih juga naik," ungkapnya.

Henry menyarankan agar program Reforma Agraria menyasar petani penanam padi yang kini dihadapkan pada penyempitan lahan tanam dan kenaikan harga sewa lahan.

“Program Reforma Agraria yang membagikan tanah 9,7 juta hektare itu harusnya menyasar pada petani tanaman padi. Karena, itu yang harus ditambah luas lahannya," ujarnya.

Selain itu, Indonesia baru surplus beras 10 juta ton. Angka itu setara dengan kebutuhan nasional selama 3 bulan. 

“Nggak sampai satu kali panen. Jadi, kita harus tingkatkan lagi," tambahnya.

Henry juga mewanti-wanti agar para produsen beras dalam negeri menggunakan benih lokal. Hal itu mesti dilakukan untuk menjamin kedaulatan pangan Indonesia. 

“Kita harus terus menggunakan benih yang diproduksi oleh petani, pemerintah, dan lembaga-lembaga kita," pungkasnya.

Baca juga : Jokowi: Terima Kasih Pak Tani

Fenomena La Nina

Menurut Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Dwi Andreas Santoso, semua itu berkat La Nina. 

“Dua tahun kita diselamatkan iklim, karena La Nina. Produksi padi meski tidak naik, turun sedikit, itu diselamatkan oleh La Nina,” kata Andreas, Senin (15/8). 

Fenomena La Nina atau kemarau basah jika mengamati data 20 tahun terakhir, iklim ini biasanya meningkatkan produksi padi dengan sangat signifikan. Namun, pada periode 2019- sampai saat ini, kenaikan produksi padi dianggap lebih dari cukup untuk konsumsi dalam negeri. 

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Produksi padi pada 2021, yaitu 54,42 juta ton GKG, mengalami penurunan sebanyak 233,91 ribu ton atau 0,43 persen dibandingkan produksi padi di 2020 yang sebesar 54,65 juta ton GKG.

Selama tiga tahun, Indonesia juga disebut sudah tidak mengimpor beras.

“Betul kita tidak impor, penyebabnya ? Terjadi penurunan konsumsi beras. Kalau penurunan konsumsi beras, maka beralih ke mana, yang paling nyata ke gandum,” terang Andreas. 

Pemerintah mengklaim, prognosis pangan nasional tahun 2022, khususnya pada komoditas beras, menunjukkan adanya surplus 7,5 juta ton. 

Baca juga : HUT Ke-31 Queen Beauty Clinic, Dimeriahkan Artis Yeyen Lidya

Hal ini melanjutkan tren positif swasembada beras dengan produksi beras pada 2020 sebesar 31,4 juta ton dan tahun 2021 sebesar 31,2 juta ton. 

Hal tersebut menunjukkan bahwa kondisi produksi beras yang relatif stabil dari tahun ke tahun berdampak positif terhadap terjaganya harga beras nasional di tingkat konsumen.

“Swasembada beras yang telah dicapai tentunya masih dihadapkan oleh berbagai tantangan, baik dari sisi hulu sampai ke hilir. Untuk itu, Pemerintah terus meningkatkan berbagai upaya perbaikan,” kata Menko Perekonomian Airlangga Hartarto.

Namun, Andreas mengingatkan pemerintah memperhatikan kesejahteraan petani. Bagi petani dengan lahan kecil, bercocok tanam padi malah bikin mereka rugi. Berbagai insentif dan bantuan macam pupuk subsidi, yang diberikan pemerintah tidak banyak berpengaruh pada kehidupan mereka. 

“Bahwa usaha tani sekarang rugi, (insentif) tidak banyak membantu. Ada masalah yang krusial di situ yang harus kita atasi bersama,” ucap Andreas.

Belum lagi NTP yang terus turun di sepanjang tahun 2022. Data terkini, BPS melaporkan, NTP Indonesia pada Juli 2022 sebesar 104,2. Nilai ini turun 1,61 persen dibanding NTP bulan sebelumnya yang sebesar 105,96.■

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.