Dark/Light Mode

Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
Anies & Muhaimin
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
Prabowo & Gibran
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
Ganjar & Mahfud
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU

Principal Ramal Kenaikan Harga BBM Kerek Inflasi Ke 6 Persen

Kamis, 8 September 2022 15:56 WIB
Dari kiri: Chief Investment Officer, PT Principal Asset Management Ni Made Muliartini; Moderator atau Head of Institutional Sales, PT Principal Asset Management Aldi Rinaldi; CIO Fixed Income ASEAN Region, Principal Asset Management Malaysia Jesse Liew; CIO Malaysia & CIO Equities ASEAN Region, Principal Asset Management Malaysia Patrick Chang. (Foto: Ist)
Dari kiri: Chief Investment Officer, PT Principal Asset Management Ni Made Muliartini; Moderator atau Head of Institutional Sales, PT Principal Asset Management Aldi Rinaldi; CIO Fixed Income ASEAN Region, Principal Asset Management Malaysia Jesse Liew; CIO Malaysia & CIO Equities ASEAN Region, Principal Asset Management Malaysia Patrick Chang. (Foto: Ist)

RM.id  Rakyat Merdeka - Principal Indonesia (PT Principal Asset Management) memberikan pandangan mengenai tantangan dan solusi dalam mengatasi potensi perlambatan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2022 dan 2023 mendatang.

Pandangan tersebut diberikan dalam acara Webinar Market Outlook 2022 dari Principal Indonesia yang bertajuk “Potential Economic Downturn in 2022 & 2023: Challenges & Solutions”, yang diadakan pada Kamis (8/9).

Hadir sebagai pembicara CIO Malaysia & CIO Equities for ASEAN Region, Principal Asset Management Malaysia Patrick Chang; CIO Fixed Income for ASEAN Region, Principal Asset Management Malaysia Jesse Liew; CIO PT Principal Asset Management Ni Made Muliartini.

Patrick Chang dalam paparannya menyebutkan beberapa poin penting tentang kondisi ekonomi global dan pasar modal terutama terkait investasi di saham. Menurut dia, kondisi perekonomian dunia di awal 2022 sebenarnya telah menunjukkan perbaikan walaupun dibayangi oleh inflasi tinggi di beberapa kawasan dunia. Hal ini ditambah dengan meningkatkan tensi geopolitik yang menyebabkan krisis energi dan pangan, serta potensi melambatnya pertumbuhan dunia.

Menurut dia, ancaman resesi dunia diperkirakan terjadi lebih cepat di 2023 dibandingkan prediksi awal di tahun 2024 akibat kenaikan suku bunga sebagai respon dari inflasi tinggi namun dibarengi dengan perlambatan pertumbuhan PDB global. 

Baca juga : Jokowi Minta Pemda Gercep Redam Inflasi

Selain itu, penggerak utama ekonomi dunia yaitu Amerika Serikat dan China sedang berusaha menghadapi tantangan perekonomiannya masing-masing. The Fed, bank sentral Amerika, berusaha memerangi inflasi domestik yang tinggi dengan menaikkan suku bunga dengan agresif. 

Sementara itu, kata dia, China yang saat ini masih melakukan lockdown di beberapa daerahnya serta mengalami masalah di sektor properti, juga masih berusaha membangkitkan perekonomiannya. Dengan tidak menghadapi inflasi tinggi seperti Kawasan Eropa maupun Amerika, pemerintah China diharapkan bisa mengendalikan ekonominya dengan kebijakan moneter maupun fiskalnya. 

“China dengan rencana investasi besarnya di FAI (Fixed Asset Investment) di infrastruktur diharapkan bisa membalikkan arah perekonomian,” katanya.

Kemudian, kata dia, Asia menjadi kawasan yang cukup baik sebagai alternatif investasi mengingat kawasan lain seperti Eropa dan Amerika terdampak langsung oleh krisis energi dan geopolitik saat ini. Lebih khusus lagi, kawasan ASEAN menjadi pilihan investor karena menjadi kawasan yang diuntungkan akibat harga komoditas yang tinggi serta beralihnya rantai pasokan beberapa produk dari China ke ASEAN.

Untuk menghadapi situasi perekonomian dunia yang sangat menantang saat ini, Patrick menyarankan untuk berinvestasi dengan menyadari resiko investasi terlebih dahulu dan mendiversifikasi investasinya. Pilihan perusahaan yang layak dijadikan tempat investasi adalah perusahaan dengan arus kas solid, bisa membagikan dividen, mewakili tema pembukaan ekonomi, serta memiliki fundamental yang baik. 

Baca juga : HMI Kalsel Gelar Aksi Unjuk Rasa

“Selain itu diharapkan investor memiliki time horizon yang panjang dalam berinvestasi. Sektor yang dimaksudkan bisa meliputi financials, consumer, communication services, dan technology sectors,” katanya.

Jesse Liew dalam paparannya menjelaskan beberapa hal penting terutama berkaitan dengan investasi obligasi di pasar modal global maupun Indonesia. Menurutnya, kinerja obligasi pada tahun 2019 dan 2020 sangat baik karena adanya trend penurunan suku bunga di seluruh dunia akibat kondisi pandemi. 

Seiring dengan resiko resesi yang cukup tinggi, kata dia, pasar juga memperkirakan kenaikan suku bunga akan lebih moderat di 2023 akibat adanya kemungkinan perlambatan pertumbuhan. Oleh karena kondisi kurang kondusif, permintaan obligasi di Eropa dan Amerika berkurang drastis dan memicu arus keluar dari obligasi.

Mempertimbangkan kebijakan fiskal dan moneter yang akan lebih ketat di waktu dekat ini serta diperkirakan diiringi oleh perlambatan pertumbuhan, Jesse menyarankan, investor untuk memilih strategi durasi pendek untuk memitigasi risiko perlambatan pertumbuhan dan suku bunga tinggi.

Sementara, untuk pasar obligasi Indonesia, akibat adanya kenaikan Pertalite dan Pertamax beberapa saat yang lalu, inflasi dalam jangka pendek diperkirakan akan meningkat ke level 6,3 persen untuk tahun 2022. Defisit anggaran akan kembali ke level 3 persenuntuk tahun 2023 dan imbal hasil obligasi pemerintah 10 tahun pada 7,85 persen akibat tidak berlanjutnya program burden sharing.

Baca juga : Di Tengah Krisis Global, Kenaikan Harga BBM Pilihan Rasional

“Pada kondisi pasar saat ini, durasi yang dipilih untuk portfolio masih pendek, dengan mempertimbangkan akan adanya kenaikan imbal hasil untuk tenor panjang setelah terjadinya penjualan pada obligasi tenor pendek,” katanya.

Sementara itu, Ni Made Muliartini dalam paparannya, lebih membahas kondisi pasar modal domestik Indonesia. Menurut dia, walaupun kondisi perekonomian dunia saat ini sedang carut marut, ekonomi Indonesia menjadi salah satu yang terbaik di dunia.

Menurutnya, kenaikan bahan bakar minyak yang terjadi awal September ini menjadi langkah penting pemerintah walaupun menghadapi banyak tentangan dari masyarakat. Inflasi diperkirakan akan meningkat untuk beberapa bulan ke depan terlebih pengusaha kemungkinan akan membebankan kenaikan BBM ini ke dalam harga produknya.

Sementara, pasar saham cukup resilient dalam menghadapi kondisi ekonomi yang menantang ini terutama lebih banyak ditopang oleh investor individu serta arus masuk investor asing yang masih positif hingga akhir Agustus. Sementara itu di pasar obligasi tercatat kepemilikan asing yang makin menurun ke level terendah di 15 persen.

Walaupun pasar saham memiliki valuasi yang tidak murah lagi, namun laporan keuangan emiten yang sebagian besar baik, serta outlook perekonomian yang masih bagus, diperkirakan akan menjadi penopang jika terdapat koreksi. Sementara pada obligasi, strategi yang diterapkan masih pada durasi pendek untuk mengantisipasi fluktuasi dalam jangka pendek ini.

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.