Dark/Light Mode

Catatan Kebijakan Publik Akhir Tahun 2023

Perlunya Pengawasan Distribusi BBM Subsidi JBT Secara Ketat 

Senin, 6 November 2023 12:01 WIB
Agus Pambagio. (Foto: Ist)
Agus Pambagio. (Foto: Ist)

RM.id  Rakyat Merdeka - Pada tahun 2023, Pemerintah menetapkan anggaran subsidi dan kompensasi energi sebesar Rp 339,6 triliun yang Rp 23,3 triliun di antaranya dialokasikan untuk Jenis BBM Tertentu (JBT-solar dan minyak tanah). Berdasarkan besaran subsidi tersebut, ditentukan kuota nasional, yaitu sebesar 17 juta kilo liter.

Kuota nasional kemudian dibagi menjadi kuota per provinsi, serta selanjutnya menjadi kuota per kendaraan per hari untuk menjamin masyarakat golongan tertentu mendapatkan haknya untuk memperoleh subsidi, sebagaimana diatur dalam Keputusan Kepala BPH Migas No. 4 Tahun 2020. Niat baik Pemerintah untuk menjaga keseimbangan antara beban APBN dan kebutuhan masyarakat tersebut perlu diapresiasi dengan baik. Oleh karenanya diperlukan dukungan dari berbagai pihak, salah satunya melalui Catatan Kebijakan Publik ini.

Dari pemantauan kami, kebijakan kuota BBM bersubsidi dan mekanisme distribusinya sampai dengan saat ini masih ditemukan banyak permasalahan di lapangan. Mulai dari kebutuhan di lapangan yang melebihi kuota BBM JBT, ketiadaan dan atau kekurangan BBM JBT di beberapa wilayah, ketidakseragaman antar SPBU dalam menyalurkan JBT solar, hingga dukungan teknologi yang belum sempurna seperti pada aplikasi QR MyPertamina, pelanggaran atau kecurangan dari oknum tertentu.

Lemahnya pengawasan terhadap distribusi BBM JBT selain mengakibatkan tidak terpenuhinya hak masyarakat yang membutuhkan, juga berpotensi menimbulkan kerugian negara yang besar karena adanya penggunaan APBN yang tidak tepat dalam pemberian subsidi. Subsidi BBM Indonesia termasuk tiga besar dunia, setelah Arab Saudi dan Iran.

Permasalahan-permasalahan yang terjadi di lapangan

Untuk mencapai tujuan rencana pemberian subsidi BBM secara efektif dan efisien, identifikasi terhadap permasalahan-permasalahan yang terjadi di lapangan sangat penting untuk dilakukan, sehingga segera dapat dianalisis apa yang mejadi root cause dan bagaimana jalan keluarnya. Sejauh ini terdapat beberapa permasalahan yang telah diidentifikasikan, antara lain sebagai berikut:

Baca juga : Pertamina Patra Niaga Komitmen Distribusikan BBM Dengan Harga Kompetitif

a. Kebutuhan BBM JBT/kendaraan/hari melebihi batas kuota yang telah ditetapkan

Kuota BBM JBT sebesar 200 L/Hari/Kendaraan untuk jenis kendaraan barang (truk) beroda enam tertentu dianggap tidak mencukup kebutuhan di lapangan. Hal ini sering dikeluhkan oleh pelaku usaha bus dan truk, seperti bus Bus AKAP, Bus Pariwisata, dan sebagainya. Bus AKAP  (antar kota antar pulau) dengan jarak tempuh sekitar 800 km/hari dan konsumsi BBM rata-rata 1:3, serta truk usia  tua yang sebagian besar dimiliki oleh UMKM penggunaan BBM lebih boros. Namun demikian dalam draft revisi Rancangan Keputusan BPH Migas yang baru, kuota BBM JBT justru akan diturunkan menjadi 180 KL/hari/kendaraan.

b. Ketidakseragaman SPBU dalam menjual BBM JBT sehingga tidak tepat sasaran

Terdapat SPBU yang membatasi penjualan maksimal Rp 1 juta/hari (setara 133 L) dan bukan berdasar kuota 200 L/hari karena kuota yang didapat SPBU tersebut tidak mencukupi untuk penjualan BBM bersubsidi pada yang berhak. Kemungkinan lain adalah adanya kecurangan petugas SPBU untuk menjual JBT bersubsidi sebagai BBM biasa.

Tak jarang terjadi di lapangan antrean kendaraan mengular di SPBU untuk memperoleh BBM JBT, misalnya seperti yang penulis dapati baru baru ini di beberapa SPBU di daerah Sumatera Selatan. Hal ini terjadi  karena terbatasnya stok di SPBU dan kelangkaan ketersediaan di lapangan, tak jarang sopir kendaraan juga harus menginapkan kendaraan agar mendapat JBT susdidi.

Berdasarkan pemantauan di lapangan, juga terjadi  distribusi yang tidak tepat sasaran kepada yang tidak berhak, seperti angkutan truk pertambangan dan perkebunan dengan roda lebih dari enam.

Baca juga : Cita-cita Masyarakat Polewali Mandar Punya Perpustakaan Megah Sudah Terwujud

Selain itu juga terdapat potensi kecurangan dari oknum, baik dari Petugas SPBU, pengemudi, maupun pihak lainnya untuk menjual kembali BBM JBT secara eceran dengan memanfaatkan kekurang mutakhiran sistem QR MyPertamina, seperti QR yang statis (dapat digunakan oleh pihak lain), penyisihan kuota 200 L yang tidak seluruhnya digunakan untuk bahan bakar kendaraan atau sebagian dijual kembali dsb.

c. Pengawasan berbasis teknologi yang masih lemah QR MyPertamina dan akses verifikasi registrasi kendaraan oleh SPBU

Pengawasan terhadap validasi data juga menjadi permasalahan lainnya, dimana Petugas SPBU berkewajiban untuk melakukan validasi Nopol Kendaraan berdasar STNK yang tak jarang mendapat resistensi dari pengemudi atau nomor palsu. Solusinya, beberapa SPBU melakukan validasi melalui aplikasi SAMSAT Online akan tetapi tidak semua SAMSAT di daerah dapat mengakses aplikasi tersebut.

Rekomendasi

Berdasarkan pemantauan dan analisis kami, sebagaimana diuraikan di atas, untuk peningkatan efektivitas BBM JBT yang menggunakan APBN dalam jumlah sangat besar harus diatur dan diawasi dengan ketat. Untuk itu  sebaiknya dilakukan beberapa tindakan sebagai berikut:

Pertama, Perlunya pengawasan yang ketat dan berbasis IT dari seluruh pihak berdasarkan tanggung jawab masing-masing, diantaranya SPBU wajib mengawasi petugasnya (dengan rewards dan penalty), pemilik kendaraan pun wajib mengawasi pengemudinya. Badan Usaha Penugasan juga harus selalu memutakhirkan teknologinya (MyPertamina), baik dari segi fitur dan keamanan seperti fitur QR yang dinamis. Kerja sama dengan Polri perlu dilakukan agar SPBU dapat memiliki akses cek validasi kendaraan melalui SAMSAT Online.

Baca juga : Manjakan Traveler, AP II Perkuat Layanan Dan Digitalisasi Bandara Soetta

Kedua, peningkatan kuota subsidi bbm non-subsidi yang tidak memberatkan APBN. Dengan memperhatikan kebutuhan pasar dan beban APBN terhadap BBM JBT yang sangat besar, maka walau bukan merupakan kebijakan yang popular, salah satu pilihannya adalah menaikkan tarif BBM JBT subsidi dengan tetap memperhatikan daya beli masyarakat.

Ketiga, revisi Keputusan Kepala BPH Migas yang disesuaikan dengan hasil evaluasi kenyataan di lapangan dan sebelumnya perlu didiskusikan dengan Asosiasi Pengusaha Angkutan Darat (Organda) agar lebih relevan. Disamping revisi kebijakan lain yang sesuai dengan kondisi terkini  sebagaimana diuraikan di atas.

Revisi juga  juga diarahkan pada evaluasi kemungkinan batas kuota  yang lebih spesifik, khususnya untuk kendaraan tertentu seperti: Bus Pariwisata jarak jauh, truk angkutan barang yang dimiliki sebagian besar oleh UMKM, dsb.

Agus Pambagio

Penulis adalah Managing Partner PH&H Public Policy Interest Group 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.