Dark/Light Mode

Co-firing Bahan Bakar Nonkarbon: Solusi untuk Menurunkan Emisi Karbon

Sabtu, 13 April 2024 13:31 WIB
Data historis gas rumah kaca (Sumber: climatewatchdata.org)
Data historis gas rumah kaca (Sumber: climatewatchdata.org)

Pemanasan Global

Pada tahun 2023, temperatur udara bumi mencapai titik tertinggi sejak dimulainya pencacatan temperatur udara pada tahun 1850. Rata-rata temperatur udara yang mencapai 1,48°C lebih tinggi daripada periode sebelum revolusi industri mengindikasikan eskalasi yang signifikan dalam perubahan temperatur global.Selain itu, setiap hari pada tahun 2023 memiliki temperatur 1°C lebih tinggi dari periode sebelum revolusi industri. Tren peningkatan temperatur global yang terjadi merupakan bukti dari dampak perubahan iklim (Nuria Lopez, 2024). 

Pemanasan global terjadi karena adanya peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer. Gas rumah kaca menyerap panas yang dipancarkan oleh bumi, menyebabkan peningkatan temperatur udara di permukaan bumi (Wolff et al., 2020). Emisi gas rumah kaca sebagian besar dihasilkan dari kegiatan manusia seperti pembakaran bahan bakar fosil, aktivitas transportasi, praktik pertanian, dan deforestasi. Di antara semua aktivitas manusia yang menghasilkan emisi gas rumah kaca, aktivitas pembangkitan energi menjadi penyumbang utama emisi gas rumah kaca (Climate Watch, 2020).

Transisi Energi

Terdapat beberapa jenis sumber energi yang dapat dimanfaatkan untuk pembangkitan energi. Dilansir dari data Evaluasi Capaian Bauran Energi Nasional Tahun 2022 yang dipublikasikan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), bahan bakar fosil masih menjadi sumber utama dalam pemenuhan kebutuhan energi nasional. Bauran penyediaan energi primer didominasi batubara sebesar 42,38%, diikuti oleh minyak bumi dengan 31,40%, gas bumi dengan 13,92%, dan energi baru terbarukan (EBT) dengan 12,30%. Terbukti pada tahun 2022 pemerintah gagal mencapai target pencapaian bauran energi primer nasional untuk meningkatkan bauran EBT menjadi 15.69% (Dewan Energi Nasional, 2023). Oleh karena itu, diperlukan usaha lebih dari berbagai pihak terkait guna mewujudkan transisi penggunaan EBT yang tidak menghasilkan emisi gas rumah kaca. Meskipun demikian, transisi menuju pemanfaatan sumber EBT tetap membutuhkan pertimbangan menyeluruh mengenai dampak transisi terhadap lingkungan, ketersediaan energi, dan faktor ekonomi.

Baca juga : Dirgakkum Nyatakan Pelanggar Lalu Lintas Arus Mudik 2024 Menurun

Energi baru terbarukan menghasilkan emisi gas rumah kaca yang lebih sedikit dibandingkan penggunaan bahan bakar fosil. Biarpun demikian, EBT memiliki tantangan perihal ketersediaan energi karena hanya tersedia pada waktu tertentu dan bersifat intermiten. Sebagai contoh, energi cahaya matahari hanya tersedia pada siang hari, energi angin memiliki kecepatan dan arah yang tidak konstan, dan energi air pada sungai tidak dapat digunakan pada saat sungai kering.

Selain masalah ketersediaan, peralihan dari penggunaan bahan bakar fosil ke EBT juga dapat berimplikasi pada peningkatan harga energi. Hal ini disebabkan karena transisi menuju energi yang lebih ramah lingkungan memerlukan biaya investasi infrastruktur. Di samping itu, penghentian operasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berstatus aktif yang masih menggunakan bahan bakar fosil juga menjadi penyebab peningkatan harga energi. Penghentian operasional PLTU berbahan bakar fosil akan mengakibatkan pemborosan pada biaya investasi PLTU karena PLTU yang masih layak beroperasi tidak dioperasikan. 

Pengenalan Bahan Bakar Nonkarbon

Sebagai upaya untuk menjawab tantangan ketersediaan energi dan menghindari pemborosan biaya investasi PLTU, bahan bakar nonkarbon dapat dijadikan alternatif solusi. Bahan bakar nonkarbon seperti hidrogen dapat dibakar tanpa menghasilkan emisi karbondioksida (CO2), gas rumah kaca yang paling banyak dihasilkan dalam proses pembangkitan energi. Sumber EBT dapat dimanfaatkan untuk memproduksi bahan bakar nonkarbon melalui beberapa proses seperti elektrolisis, fotolisis, biolisis, atau termolisis. Proses-proses tersebut melibatkan pemecahan molekul air (H2O) untuk menghasilkan hidrogen yang kemudian dapat disimpan (Dawood et al., 2020).

Hidrogen merupakan salah satu sumber energi sekunder yang dapat dipakai sebagai penyimpan energi primer dari sumber EBT (Aziz et al., 2023). Penyimpanan energi dapat dilakukan untuk mengatasi tantangan sifat tidak tetap dan intermiten dari sumber EBT. Hidrogen dapat disimpan dalam fasa gas maupun cair, tetapi penyimpanan hidrogen murni memiliki tantangan tersendiri. Tantangan ini muncul karena hidrogen yang memiliki sifat densitas-energi-per-satuan-volume yang rendah. Oleh karena itu, penyimpanan hidrogen perlu meningkatkan densitas-energi-per-satuan-volume hidrogen agar dapat menyimpan hidrogen dalam ruang yang terbatas.

Baca juga : mGanik Nutrition Berikan Solusi Alami Turunkan dan Jaga Stabilitas gula darah

Penyimpanan hidrogen murni dalam fasa gas memerlukan tangki penyimpanan bertekanan sebesar 350 bar (Aziz et al., 2023). Nilai tekanan tersebut sangat besar dan meningkatkan risiko ledakan jika terjadi kebocoran pada tangki. Sebagai perbandingan, ban mobil memiliki tekanan sekitar 2 bar (Hyundai, 2022). Penyimpanan hidrogen murni dalam fasa cair memerlukan temperatur yang sangat rendah, bekisar sekitar -253 °C untuk mengubah hidrogen dari fasa gas menjadi fasa cair (Prachi R. et al., 2016).

Metode ini sulit dilakukan karena penyimpanan hidrogen murni dalam fasa cair akan membutuhkan energi yang besar untuk pendinginan tangki penyimpanan. Alternatif penyimpanan hidrogen selain dalam bentuk hidrogen murni adalah dalam bentuk hidrogen tidak murni atau senyawa, salah satu contohnya adalah amonia (NH3). Penyimpanan hidrogen menggunakan amonia mulai menarik minat beberapa negara seperti Inggris, Amerika Serikat, Australia, dan Jepang, karena penyimpanannya yang relatif mudah dan murah (Aziz et al., 2023).

Penggunaan Bahan Bakar Nonkarbon

Hidrogen dapat dimanfaatkan dengan cara dibakar bersamaan dengan gas alam, sebuah praktik yang dikenal sebagai co-firing (Inoue et al., 2018). PLTU yang menggunakan gas alam dapat mengimplementasikan teknologi co-firing dengan hidrogen untuk mengurangi emisi karbondioksida. Selain itu, Bahan bakar nonkarbon lain yang menarik perhatian adalah amonia. Amonia dapat digunakan sebagai bahan bakar co-firing yang dicampur dengan batubara. Co-firing amonia dengan batubara dapat mengurangi emisi karbondioksida secara signifikan. Hal ini disebabkan karena batubara merupakan bahan bakar fosil yang menghasilkan emisi karbondioksida dan merupakan sumber energi primer yang paling banyak digunakan di Indonesia.

Oleh karena itu, pengurangan penggunaan batubara akan berdampak pada pengurangan emisi karbondioksida yang dihasilkan oleh PLTU. Perusahaan Ishikawajima Heavy Industries (IHI) telah berhasil menerapkan teknologi co-firing amonia-batubara pada pembangkit dengan daya 10 MW, dan berencana untuk menerapkan teknologi co-firing amonia-batubara pada pembangkit dengan daya 10 GW (Nagatani et al., 2020). Kemungkinan untuk melakukan co-firing hidrogen dengan amonia juga sedang dikembangkan oleh perusahaan Mitsubishi Heavy Industries (MHI), untuk mengembangkan turbin gas yang tidak menghasilkan karbondioksida (Nose et al., 2021).

Baca juga : MSIG Life dan Bank Sinarmas Kolaborasi Luncurkan Smile Flexilink

Penggunaan co-firing dengan bahan bakar nonkarbon dapat diterapkan pada PLTU dengan melakukan modifikasi. Modifikasi tersebut memungkinkan PLTU yang menggunakan bahan bakar fosil agar dapat tetap beroperasi selama masa aktifnya untuk menjaga stabilitas harga energi yang dibeli masyarakat. Selain itu, penggunaan co-firing dapat secara bertahap mengurangi emisi gas rumah kaca selama masa transisi energi menuju sumbet EBT yang lebih ramah lingkungan.

Ringkasan

Secara singkat, diperlukan usaha untuk mengurangi gas rumah kaca pada atmosfer yang menjadi penyebab pemanasan global. Penggunaan bahan bakar nonkarbon dapat solusi alternatif untuk membantu transisi energi ke sumber EBT secara bertahap. Hal tersebut dapat terjadi karena bahan bakar nonkarbon dapat mengatasi masalah ketersediaan pada sumber EBT. Lebih lanjut, bahan bakar nonkarbon juga dapat digunakan sebagai bahan bakar co-firing, dan diaplikasikan pada PLTU yang masih berstatus aktif untuk menjaga stabilitas harga energi. Co-firing dari bahan bakar nonkarbon layak dicoba karena sudah pernah diimplementasikan oleh beberapa perusahaan. 

Alvian Rico Ristian
Alvian Rico Ristian
Mahasiswa

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.